Tuesday, May 8, 2018
Facebook, Neo Nazi dan Kekacauan Indonesia
Peristiwa pahit dan manis tidak terelakan di perjalanan Pemilihan umum sebagai wujud representasi berpolitik negara bersistem demokrasi, yang dibarengi pula dengan pesatnya kemajuan teknologi informasi di Indonesia hingga saat ini. Pola-pola baru dalam berpolitik dipraktikkan secara masif menggunakan segala cara seperti kampanye dan propaganda politik melalui sosial media. Hingga isu penistaan agama, rasisme golongan dan saling tuduh pemberitaan hoax diangkat, mencuat dan gaduh belakangan ini, namun terlihat masih dalam bingkai konspirasi politik pemilu.
Dalam hal ini, saya sering bertanya kepada teman-teman sekitar, terutama di lingkungan kampus, tentang dari mana sumber informasi atau pemberitaan didapatkan. Hasil yang saya dapati adalah mereka mengkonsumsi informasi dari fanpage-fanpage dan portal online yang muncul di beranda mereka. Sosial media seperti Facebook, seakan sudah menjadi tempat dan berfungsi menyamai media massa dalam praktiknya. Namun CEO Facebook, Mark Zuckerberg, menangkal hal tersebut, ia mengaku bahwa facebook adalah perusahaan teknologi, bukan perusahaan media. Padahal jika melihat realitasnya, dengan berkomentar dan menekan tombol "share" di kontennya, aplikasi facebook ini telah juga berperan dalam penyebaran informasi sebagaimana media. Karena apa yang diproduksi media dipublikasikan di sosial media ini.
Aplikasi yang sebagaimana awalnya dipahami sebagai medium bersosial di dunia maya, medium alternatif dan pemanfaatan teknologi modernis ini, tampaknya menafikan psikologi manusia dalam bersosial. Kepentingan manusia dalam bersosial tidak melulu dalam ranah sosial saja, namun terdapat banyak faktor yang meliputi, salah satunya adalah ranah politik. Seperti halnya riuh politik seperti di atas, media sosial (facebook) pun masif dimanfaatkan dalam berpolitik. Akibatnya, propaganda dan konspirasi berupa konten, yang menyebar di beranda sosial media tidak terhindarkan. Yang mana, satu-satunya tujuan dalam konten tersebut yakni agar tercapai kemenangan berpolitiknya.
Facebook, sosial media yang memiliki lebih dari 1,8 miliar pengguna aktif dan menambahkan 500 ribu pengguna baru setiap harinya ini, menjadi buah bibir yang diributkan, terutama pada pemilihan presiden Amerika 2016 lalu. Netizen berprotes tentang menyebarnya berita-berita yang dianggap palsu "fake news" di timeline Facebook, sehingga membuat masyarakat kebingungan mengkonsumsi informasi yang faktual. Demikian juga seperti yang terjadi di Indonesia akhir-akhir ini, pilkada Jakarta syarat dengan pemberitaan-pemberitaan yang dalam satu tema bertabrakan fakta yang dihadirkan. Pihak pendukung pasangan calon memberitakan dengan gencar keunggulan calonnya, dan menjatuhkan lawannya dengan bahasa yang rasis dan sarkas. Isu-isu intim dan tidak layak sampai dikeluarkan, khususnya di Facebook.
Mengapa penyebaran informasi yang dianggap hoax ini begitu masif di Facebook? Selain momentum politik, sistem "iklan" facebook juga berperan dalam hal ini. Sponsor di Facebook memberikan peluang kepada siapapun untuk mengiklankan kontennya, dan tanpa seleksi. Siapapun yang berani membayar sesuai ketentuan tarif facebook, ia akan mendapatkan lokasi dan jumlah ribuan akun yang akan diberkan iklannya oleh pihak Facebook. Dari hal tersebut, akhirnya, pihak-pihak yang sedang berkepentingan, seperti dalam hal politik begitu menfaatkan dan memainkan politiknya melalui sistem ini.
Aplikasi yang paling diminati diseluruh dunia ini memang sakti dalam praktiknya. Namun terdapat pula sisi negatif yang tidak diharapkan tidak terhindarkan pula, karena pola kerja Facebook adalah "EdgeRank". Maksudnya, postingan yang mendapat respon banyaklah yang akan selalu muncul di dinding pengguna Facebook. Hal inilah yang membuat pihak-pihak yang berkepentingan memanipulasi dengan membuat akun palsu untuk menaikkan rangking dan agar selalu muncul. Terbukti bahwa masih lebih dari 85 juta akun palsu, aktif di aplikasi ini.
Ketika pihak Facebook terus dicecar kritik tentang menyebarnya hoax dan fake news oleh publik, Mark Zuckerberg mengungkapakan bahwa mengidentifikasi kebenaran di aplikasinya sangatlah sulit. Terdapat dua hal yang mungkin dapat didialogkan tentang statemen tersebut. Pertama, mungkin Mark Zuckerberg dan perusahaannya memang benar-benar kebingungan jika dipaksa menyeleksi pemberitan yang benar atau palsu. Kedua, Mark Zuckerberg dan perusahaannya memang enggan melakukan seleksi tersebut, karena keuntungan yang didapatkan dari sponsor cukup tinggi. Hingga kini, ia termasuk pengusaha termuda dan terkaya dari tujuh orang terkaya di dunia.
Bagi Penulis, khususnya dalam keriuhan perbincangan fake news ataupun hoax yang menyebar di Facebook, "Fake News" tersebut masih dalam pemaknaan yang umum, atau dapat dikatakan bahasa yang masih "malas". Sebab di momentum politik, konten yang dianggap 'fake news' seperti yang orang-orang katakan memiliki makna yang lebih jelas atau spesifik. pemberitaan-pemberitaan atau konten yang berisi bahasa sarkas dan atau bahkan bohong sekalipun memiliki penyifatan tentang politik itu sendiri, seperti apakah hal tersebut berupa 'propaganda' atau 'konspirasi'. Hal ini begitu penting untuk diperjelas, sebab propaganda semacam ini berbeda dengan fake news atau hoax yang memiliki penyifatan konten yang salah, tipuan dan palsu, yang juga memiliki tujuan untuk mendapatkan keuntungan dari klik iklan di internet.
Wabah Facism Thinking
"A lie told once remains a lie but a lie told a thousand times becomes the truth." Joseph Goebbels.
Demikianlah seperti yang dilakukan oleh diktator kaliber dunia, Adolf Hitler (1993) dalam politiknya saat itu. Konspirasi kejam yang tidak terlupakan sepanjang masa tersebut sepertinya tidaklah dijadikan pelajaran "learning of history" untuk kemajuan peradaban melalui informasi di dunia dewasa ini. Bahkan malah dijadikan pelajaran yang sebaliknya, yakni pola Hitler dalam konspirasi dipakai di era kini. Konspirasi politik era sosial media yang masih memiliki sifat tidak ada batasnya dan liar.
Lebih dalam, ketika melihat pola propaganda dan konspirasi melalui Facebook. Sebuah akun atau melalui akun palsu menyebarkan konten berita propaganda atau berita palsu dengan tujuan politis disebarkan melalui buzzernya dan mendapatkan feed di kolom komentar, sehingga begitu ramai diperbincangkan. Secara kacamata psikologis, informasi propaganda dan palsu tersebut, kemudian menjadi hal lazim. Bahkan jika tanpa validasi yang berulang dan mendalam malahan dapat menjadikan sebuah pembenaran informasi bagi pembaca.
Seperti yang dikatakan Gobbels di atas, hal ini persis konspirasi fasisme Nazi. Jikalau dulu hanya satu orang Hitler saja, namun sekarang, setiap orang dapat menjadi Hitler baru. Demi kepentingannya untuk memaksa orang lain meyakini pembenaran kepentingannya rela melalui jalan yang menghalalkan segalanya, meskipun harus menyebar fitnah keji bahkan menyebarkan mitos yang tidak logis. Inilah kini Neo-Nazi sesungguhnya.
Informasi era sosial media, khususnya facebook seperti sekarang, seakan cenderung lebih memilih melupakan narasi besar praktik informasi sebagai jalan transparansi berkemajuan dan berdemokrasi. Lebih jauh lagi, media sosial seperti Facebook yang memiliki data miliaran user terdaftar beserta data privasi dan informasi sosial penggunanya di seluruh dunia, menjadikan perusahaan Facebook ini sebagai pusat data. Pendemografian yang dimiliki Facebook ini menurut penulis dapat menjadi hal yang berbahaya. Sebab, data tersebut jika dipegang oleh orang yang memiliki kepentingan jahat atau bahkan kapitalis dapat memnfaatkannya untuk menguasai masyarakat dalam segala bidang.
Tidak dapat dipungkiri, Mark Zuckerberg ialah seorang pengusaha, tidak pula menutup kemungkinan, data tersebut dapat diperjual belikan oleh pihak berkepentingan, seperti halnya yang ramai di pemilu Amerika. Dalam protesnya, Mark dikaitkan memiliki peran besar dalam pemenangan Donald Trump sebagai presiden Amerika.
Pola pikir fasis ala Nazi ini kian tidak terkontrol dan menjangkit pikiran kita dalam mendapatkan keinginan. Nilai-nilai moral dan etika berbangsa yang selama ini dijaga begitu cepat dihancurkan melalui tameng kebebasan informasi dan modernitas teknologi. Apakah benar kita sekarang telah menjadi Neo-Nazi yang tanpa kita sadari karena candu sosial media dan overload informasi?
Melihat Indonesia
Di Indonesia sendiri, negara yang terlihat begitu aktif menggunakan dan mengkonsumsi informasi melalui sosial media, ketika melihat apa yang telah terjadi belakangan ini sungguh menampakkan sebuah ironi tersendiri. Sebab, jika kita merenungkan dan merefleksikan secara mendalam, apa yang terjadi pada pemilihan umum Jakarta, khususnya. Menunjukkan kemunduran kedewasaan masyarakat yang berbangsa dan bernegara. Nilai-nilai luhur dan kesadaran berbangsa untuk bersama menjadikan negara ini semakin maju telah banyak dilupakan dan dikaburkan. Yang ada hanya kepentingan demi kepentingan, pembodohan masyarakat dan kekacauan begitu nyata di kehidupan sehari-hari.
Keterbukaan informasi yang dulunya diharapkan akan menjadikan jalan untuk kita semakin maju, malah digunakan sebagai alat ambisi-ambisi yang tidak kenal moral dan tujuan berbangsa dan bernegara. Seakan kita tidak belajar dari yellow journalism periode waktu itu yang menjadikan kekacauan di kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Pemberitaan-pemberitan palsu dan hoax, yang didalamnya berisi konspirasi dan propaganda jahat hingga kini kian melangit. Entah seperti inikah yang kita inginkan dan memang benar-benar melupakan cita-cita kemerdekaan yang kita jaga lebih dari 70 tahun.
Kita selalu berkata bahwa kita adalah masyarakat dewasa karena dapat telah serta menggunakan teknologi terbaru seperti masyarakat di negara maju. Namun melihat cara-cara keji seperti pembuatan informasi tipuan dan hoax nyata mengancam berlangsungnya kehidupan kita. Sangat layak direnungkan, di setiap tindakan di internet yang syarat konsekuensi, Apakah dengan berkomentar dan klik "share" di akun sosial media kita telah juga ikut memuat dan membagikan ketidakjelasan informasi yang malah mampu membuat hilangnya nalar dan cita-cita bersama sebagai bangsa? Budaya politik fasis yang tidak kita sadari telah ada apakah akan dibuang atau malah akan dikembangkan? Semoga yang telah terjadi dijadikan pelajaran untuk kedepannya dan bukan sebaliknya. [k]
Lokasi:
Jakarta, Indonesia
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment