Monday, May 7, 2018

Ironi Pembangunan dan Kesalihan Lingkungan



Bukanlah hal yang mengherankan bahwa dalam catatan sejarah yang kita baca selama ini, negara-negara yang berada dalam zona mengiginkan label negara maju cenderung mempertahankan pola pikir bahwa pembangunan selalu diidentikan dengan gerakan modernisasi setinggi-tingginya. Hal tersebut pula yang menjadi refleksi dari negara-negara industrial berkemajuan.

Pembangunan ditafsirkan sebagai jalan atau cara untuk sebuah negara yang belum maju agar dapat berdiri dan bersaing dengan negara-negara sudah maju di dunia. Negara-negara membangun seperti Indonesia pun seakan demikian, selalu muncul program pembangunan baru yang direncanakan. Namun yang terjadi, problem atau efek samping yang akan didapatkan dari pembangunan bukanlah sebuah pertimbangan penting.

Kajian demi kajian dilakukan, baik mengkaji keuntungan yang akan didapatkan, seperti keuntungan pembaruan energi secara besar-besaran maupun keuntungan ekonomi. Juga tentang berbagai dampak atau problem yang akan didapatkan, seperti bahaya ekologi dan ketergantungan pada negara lain dalam pelaksanaan yang malah dirasa akan merugikan.

Berbicara lagi tentang negara berkembang seperti Indonesia dengan hasrat pembangunannya, seperti yang dijelaskan diatas mengenai penafsiran dan indikasi atas pembangunan, tampaknya sangatlah urgen untuk merenungkan menghitung dampaknya sebelum memutuskan melangkah.

Belajar dari peristiwa Bhopal di India (1984) misalnya, karena sikap egoistik dan ambisius negara maju dalam pembangunan industrial yang memiliki dampak besar, akhirnya malah menewaskan 1.500 orang, 500 ribu orang buta, menderita sakit ginjal, merusak kandungan wanita hamil, akibat bocornya tangki gas perusahaan industri Amerika. Adalagi di negara maju Rusia, terjadi pula bencana nuklir di Chernbyk yang mampu menewaskan 30 ribu orang karena pencemaran radioaktif dari pusat nuklir tersebut.

Kini, di Indonesia sendiri pun masih sedang gencar menginginkan pembangunan-pembangunan atas dasar kemajuan teknologi dan kebutuhan, seperti halnya rencana pembangunan pembangkit tenaga Nuklir yang cukup ramai belakangan ini.

Mengenai rencana pembangkit nuklir misalnya, di Australia, negara yang sangat terkenal sebagai pengekspor uranium, namun malah tidak membangun pusat nuklir atau di Indonesia disebut PLTN. di Amerika Serikat, yang memiliki 110 buah reaktor nuklir atau 25,4% dari total seluruh reaktor yang ada di dunia, dikabarkan akan menutup 103 reaktor nuklirnya. Demikian halnya dengan Jerman, negara industri besar ini, juga berencana menutup 19 reaktor nuklirnya. Penutupan pertama dilakukan pada tahun 2002 kemarin, sedang PLTN terakhir akan ditutup pada tahun 2021.

Melihat hal tersebut, seakan menandakan adanya alasan bahwa negara-negara maju malah berencana menghindari penggunaan energi besar ini. Ada berbagai faktor yang melatarbelakangi tentunya, selain bahaya akibat dampak dari alat tersebut, pembangunan yang memakan waktu tidak sebentar, yakni minimal 10 tahun. Juga faktor yang paling urgen adalah berbicara tentang dampak terhadap lingkungan dan bagaimana kita sebagai manusia bertanggung jawab atas lingkungan dan bumi ini.

Salah seorang penganjur ekosentrisme dan deep ecology, Naess (1993) pernah menyatakan bahwa krisis lingkungan yang terjadi dewasa ini hanya bisa diatasi dengan merubah secara fundamental dan radikal cara pandang dan perilaku manusia terhadap alam lingkungannya.

Tindakan praktis dan teknis penyelamatan lingkungan dengan bantuan sains dan teknologi ternyata bukan satu-satunya solusi. Yang dibutuhkan adalah perubahan perilaku dan gaya hidup yang bukan hanya orang perorang, akan tetapi harus menjadi semacam budaya masyarakat secara luas. Dengan kata lain dibutuhkan perubahan pemahaman baru tentang alam semesta yang bisa melandasi perilaku manusia. Bukan malah semangat kapitalisme dan liberalisme yang kian membara dan merajalela demi mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya yang membuat alam ini semakin rusak dan binasa.

Lingkungan di Mata Agama

Sebagai manusia yang hidup beragama, sebagai manusia beragama yang tinggal di bumi yang kaya akan sumber daya, sudahlah semestinya dan sangat perlu memikirkan secara mendalam mengenai etika dan sikap kita agar tidak merusak lingkungan dan bumi. Di Indonesia sendiri misalnya, Islam sebagai agama terbanyak pemeluknya pun syarat akan pedoman dan etika agar umatnya bertanggung jawab umtuk merawat lingkungan.

Meskipun etika Islam mengaenai hal ini tidak melarang manusia untuk memanfaatkan sumber daya alam, namun memanfaatkan yang pula dilaksanakan secara seimbang dan tidak berlebihan. Intinya agama juga anti terhadap eksploitasi yang merusak dan dampaknya membahayakan masyarakat bahkan sampai membunuh.

Islam sangat masyhur dikenal sebagai agama yang rahmatan lil alamin (kasih bagi alam semesta), maka sudah sewajarnya apabila Islam menjadi pelopor bagi pengelolaan lingkungan sebagai manifestasi dari rasa kasih bagi alam semesta tersebut. Selain melarang membuat kerusakan di muka bumi, Islam juga mempunyai kewajiban untuk menjaga lingkungan yang bersih, karena hal tersebut merupakan bagian hidup masyarakat Islam seperti halnya yang dicontohkan oleh nabi Muhammad SAW waktu itu.

Pandangan (konsep) yang sangat jelas dari Islam tentang konservasi dan penyelamatan lingkungan. Merupakan refleksi sebagai agama yang memandang lingkungan sebagai bagian tak terpisahkan dari keimanan seseorang terhadap Tuhan. Dengan kata lain, perilaku manusia terhadap alam lingkungannya merupakan manifestasi dari keimanan seseorang.

Sebagaimana pula dijelaskan di dalam ayat al-Quran suart Ar-Ruum : 41

"Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)."

Namun, perintah agama tidaklah pada umatnya agar merawat lingkungan dan bumi dari pengrusakan tidaklah terealisasi apabila orang-orang yang berada di kursi kekuasaan dan kepentingan masih bermental kapitalis dan tidak mampu mengendalikan hasrat eksploitasinya terhadap alam, berjalan atas dasar politik pembangunan dan politik lingkungan namun melupakan ajaran agama, bahaya pengrusakan alam dan kemaslahatan manusia.

Mengevaluasi Pembangunan

Hal-hal yang mendasari sikap ketergesa-gesaan untuk membangun sesuatu hingga yang berskala besar, selain memang ada kepentingan politik untuk kemajuan bidang industrial, yakni pula atas dasar kekhawatiran akan adanya krisis atau habisnya energi dan sumber daya yang ada. Sehingga luput dari etika dan perenungan bahwa alam raya dan keseimbangan lingkungan semestinya disikapi sakral dan benar-benar matang.

Pembangunan dengan mengambil energi besar dan resiko bahaya yang besar, bagi penulis sangat penting untuk dihindari, khususnya di Indonesia, negara yang syarat akan kekayaan sumber daya dan spiritual kultural.

Perencanaan atas pembangunan energi besar-besaran dan resiko yang tidak kalah besarnya disini juga harus disadari bahwa bangsa sendiri terlihat masih belum mampu mengelolanya, akan sangat disayangkan dan merugikan apabila kita dapat dikatakan maju karena pembangunan industrial namun bergantung dengan bangsa asing dalam pelaksanaannya. Tentu hal tersebut juga akan memakan biaya yang tidak sedikit secara berkelanjutan. Alangkah lebih baik jikalau memang krisis energi ini disikapi dengan melakukan pembaruan-pembaruan dari apa yang kita miliki selama ini. Hal ini bagi penulis, cukup layak diperhitungkan sebagai sintesis-sintetis baru ketika berbicara efesiensi dan menghindari resiko besar. 

Peluang energi terbarukan (renewable energy) seperti pembangkit energi matahari PLTS Karangasem (Bali), PLTS Raijua, PLTS Nule, dan PLTS Solor Barat (NTT), pembangkit energi air PLTA Singkarak (Sumatera Barat), PLTA Gajah Mungkur (Jawa Tengah), PLTA Karangkates (Jawa Timur), PLTA Riam Kanan (Kalimantan Selatan), dan PLTA Larona (Sulawesi Selatan), masih cukup bagus apalagi jika dikembangkan. Indonesia dengan kekayaan alam yang dimiliki dan dengan Pembangkit energi angin, matahari dan Hydropower yang terbarukan, tampaknya dapat menjadi alternatif dan masih banyak sintesis lain dengan resiko pala lingkungan dan manusia yang minim.

Ilmuwan dan peneliti lingkungan, Roy Ramirez dan Luis Chamach mengatakan tentang pembangunan tepat guna. Yakni yang tidak merusak manusia dan lingkungan, membutuhkan konsumsi energi kecil, tidak membutuhkan biaya paten atau royalti yang tinggi, serta tidak menghasilkan ketergantungan dengan pihak luar.

Lebih lagi, Kesadaran dan kerja sama semua pihak, baik dari budayawan, agamawan, masyarakat dan pemerintah atas tanggung jawab dan selalu menjaga lingkungan dari kerusakan adalah kekuatan atas umur dari peradaban di bumi ini. Sebab dampak dari rusaknya lingkungan akan berdampak rusak pula pada pola pikir dan budaya yang terjaga agung seperti yang ada di Indonesia ini. [k]

No comments: