Facebook menduduki urutan pertama sebagai platform media sosial yang menjadi lahan subur hoaks (82,25%), disusul WhatsApp sekitar 56,55%, dan Instagram sekitar 29,48%, (dailysocial.id).
Ketiga platform di atas beserta data hoaks di dalamnya yang telah penulis sebutkan, adalah seperti kekasih kita yang jika dalam sehari saja tidak bertemu, rasa sedih, gundah gulana, dan rindu yang mendalam akan menghinggapi langit hari-hari kita.
Lalu pertanyaannya, secara sadar atau tidak, kita berpeluang untuk menjadi konsumen hoaks, bukan? Mengapa kita masih nyaman? Itu bukan jadi masalah kelihatannya, yang jelas dengan berenang di lautan informasi di Tiga platform tersebut, kita tidak lagi terbelakang atau nggak update. Begitulah zaman Now.
Terbukti, kegaduhan nasional yang terjadi belakangan, jarang sekali dicari akar masalah atau alasannya. Seakan saat ada yang viral, naluri untuk ikut berpesta viral adalah suatu kebanggaan tersendiri.
Di sini, penulis enggan melakukan spekulasi konklusi terkait mengapa kita sering mengutuk hoaks, tapi kita juga ikut berpesta di dalamnya? Payah.
Beberapa pendapat mengemukakan bahwa faktor konten-konetn hoaks, fake news dan propaganda di media sosial cepat tersebar adalah karena masyarakat tidak piawai dalam mendeteksi konten-konten tersebut. Apalagi, konten yang berkaitan dengan sisi emosional netizen. Misalnya, konten hoaks yang menyinggung kesukuan, agama, ras lebih cepat tersebarnya.
Penyebaran hoaks dan fake news dewasa ini menjadi suatu hal yang menakutkan. Di medsos, dengan berbagai dasar dan kepentingannya, orang dengan mudah membuat konten informasi, tanpa mengedapkan aturan jurnalistik yang ada. Di samping itu juga, media sosial terlampau menjadi kebutuhan primer masyarakat.
Indonesia kini telah memasuki era tsunami informasi. Menjamurnya media portal online di jagat maya, menandakan geliat baru di tengah masyarakat. Di mana publik dibanjiri informasi sedemikian rupa, tanpa bisa membendung dan menghindarinya.
Dalam hal ini, masyarakat Indonesia serasa gagap memasuki abad baru di era informasi. Akbitanya, mereka acap kali terjebak dan tertipu dengan informasi yang belum jelas validitasnya. Bahkan, mereka dengan sengaja menyebar berita hoaks dan fake news.
Dirjen Informasi dan Komunikasi Publik (IKP), Kominfo, Niken Widiastuti, mengungkapkan bahwa angka penyebaran berita bohong mencapai 800 ribu konten per-tahun. Memang, penghitungan angka ini masih dengan cara manual. Namun jika dibagi perbulannya, berapa ratus konten hoaks yang tersebar di dunia?
Menjadi Sadar itu Samar-samar
Bagi berbagai kalangan dan pemerintah, produksi dan penyebaran konten hoaks merupakan hal yang sangat serius dan memprihatinkan karena setiap tahunnya selalu meningkat. Semua seperti mengajak untuk memerangi problema atau penyakit bangsa yang masih belum dapat obatnya. Namun apa benar demikian fakta yang terjadi?
Kita mencoba masuk ke hari-hari belakang, di Indonesia yang sekarang sedang berada di zona hangat mendekati pemilu, konten hoaks membanjir di handphone kita. Wujudnya berbagai macam, ada berita, edit foto palsu, propaganda video dan lainnya.
Orang-orang yang sebelumnya mengutuk hoaks itu, di media sosialnya, terkadang lupa diri, karena fanatisme kepada pilihan politiknya masing-masing. Mentah.
Banyak konflik horizontal atau vertikal yang terjadi akibat hoaks, yang disebarkan oknum yang sengaja memanfaatkan itu untuk kepentingan pribadi atau kelompoknya. Salah satu konflik akibat hoaks di media sosial, adalah perang antar warga di daerah Indramayu Jawa Barat (nasional.tempo.co). Dari situ, produksi hoaks atau ikut andil menyebarkannya sudah termasuk ke dalam tindak kejahatan cyber. Sebab, hoaks sangat mengancam persatuan, kesatuan dan kerukunan sebagai nilai luhur bangsa Indonesia.
Ketidakpiawaian dalam memilah informasi, Menurut Yasraf Amir Piliang dalam wawancara di Majalah IdEA edisi 39, disebabkan bangsa Indonesia secara umum belum siap menghadapi era informasi. Padahal, era informasi menuntut perubahan budaya atupun kultur kehidupan mayarakat, baik politik, ekonomi, maupun kehidupan sosial masyarakatnya. (Majalah IDEA, Perang Informasi, 2016).
Distrupsi yang terjadi akan dapat menimbulkan dampak negatif serta tercerabutnya tatanan nilai yang sudah berlangsung di masyarakat. Bukan hanya di dunia maya, kekacauan yang diakibatkan distrupsi era informasi juga berimbas pada kehidupan nyata masyarakat. Fenomena semacam ini seperti sebuah Neraka di Ujung Jari bagi Indonesia.
Menengok Visi Kemerdekaan
Para founding father berjuang untuk menjadikan negeri ini agar merdeka dengan mempertaruhkan nyawa. Tidak sedikit, keringat dan darah para pendahulu yang dipertaruhkan di medan perang ketika melawan penjajah. Perjuangan pahlawan berjuang demi para penjajah yang mencoba menguasai negeri ini, dengan mengangkat senjata.
Kontak fisik dan senjata menjadi hal yang biasa dihadapi setiap waktunya. Meskipun persenjataan yang digunakan pejuang dulu tidak sebanding dengan milik penjajah. Namun rasa kemanusian dan nasionalisme lah yang mendorong pahlawan dulu untuk melakukan perlawan. Bagi para pahlawan dahulu, bangsa yang dijajah sama halnya menggadaikan kemanusiaannya.
Berbicara tentang perikemanusiaan dan nasionalisme, sama halnya dengan era penjajahan, bangsa kini tengah dijajah informasi hoaks yang dilakukan oleh para penjajah kedaulatan bangsa yang sudah di jaga selama 70 tahun lebih. Penjajahan ini memang bukan soal fisik, tapi ini kaitannya dengan nalar dan kemanusiaan bangsa yang katanya semakin dewasa. Lalu, mengapa masih merasa nyaman? #hanyatanya.
Maka sudah seharusnya, momentum hari pahlawan yang diperingati setiap tahun, tidak hanya menjadi ritus semata, tanpa makna dan refleksi mendalam. Kita sadar bangsa ini sedang digempur serangan maraknya hoaks, fake news dan propaganda. Inilah perjuangan generasi yang menyebut atau disebut sebagai milenial untuk melawan penjajah berwajah baru, agar nilai-nilai luhur dan visi bangsa Indonesia tetap kokoh dan terjaga dengan baik.
Langkah Milenial
Pemuda yang mempunyai tugas dan tanggungjawab sebagai guide of values, iron stoke, agent of control social, dan agent of change, jangan sampai malah terbawa gelombang tsunami informasi yang sedang terjadi saat ini.
Sebagai guide of value (pengawal nilai), pemuda harus berada mampu bersikap dalam rangka memerangi tersebarnya hoax dan propaganda. Kecederdasan, mentalitas, sikap kritis dan etis sangat diperlukan dalam menyikapi segala informasi yang bertebaran di jagat maya.
Sikap yang seperti itu manjadi modal utama agar tidak mudah terpengaruh informasi yang bertebaran di dunia maya, terutama media sosial. Bukan hanya itu saja, pemuda juga harus berperan aktif dalam kontrol sosial, khususnya dalam bentuk pembuatan narasi-narasi yang bersifat edukatif dan konstruktif. Terutama, narasi yang berkaitan dengan kesadaran untuk bersikap skeptis dan kritis sebelum menyebarkan suatu informasi atau berita.
Dengan adanya peran pemuda tersebut, secara tidak langsung mereka ikut andil dalam meminimalisir dampak negatif dari adanya perang informasi yang sedang berlangsung di tengah-tengah masyarakat. Sebab, dampak negatif perang informasi yang dirasakan adalah maraknya konten hoax, fake news yang berujung pada propaganda. Di mana, hal tersebut berpotensi mengancam kedaulatan bangsa Indonesia. [stink]