Nasehat yang biasanya sering diamini orang banyak yakni untuk merebut mimpi atau cita-cita yang sudah lama mengendap di kepala sejak lama, harus saya urungkan dan hapus segera. Saya tidak lagi ingin dibebani mimpi atau cita-cita itu di kehidupan saya kini.
Kalau dari kecil saya punya cita-cita untuk menjadi presiden, atau ingin menjadi pembalap. Lalu setelah beranjak agak dewasa saya ingin menjadi penulis atau politikus misalnya. Kesemua itu kini sudah harus saya hapus dari paradigma dan sikap saya.
Mengapa saya bicara seperti itu? Sebab beberapa tahun terakhir setelah menginjak usia 22 tahun hingga kini 26 tahun, saya sering menjadi orang yang menyukai dan ingin meraih banyak hal baru yang bahkan tidak terpikirkan sebelumnya.
Sadar atau tidak, sudah kesekian kali saya sudah kehilangan sekian banyak keinginan-keinginan untuk meraih sesuatu yang mengendap di kepala atau bisa dikatakan sebagai "mimpi". Dalam hal ini, bukan karena tidak ada alasan. Tentu saya punya alasan mengapa demikian.
Pertama, hari dan zaman berubah begitu cepat. Hal itu memaksa saya untuk mempelajari sesuatu untuk bisa sesuai dengan perubahan-perubahan yang terjadi. Kemudian saya baru akan memilih akan melakukan apa. Kalau kata orang, kita ini adalah anak zaman. Sehingga sudah selayaknya dalam bersikap pun sesuai dengan zaman. Mimpi yang lalu yang sudah tidak relevan dengan zaman harus direlakan begitu saja.
Kedua, tuntutan dan kebutuhan. Belakangan ini saya ditampar dengan kenyataan yang saya sering alami. Yakni seperti halnya transfer pengetahuan dan skill yang ditawarkan oleh lingkungan bahwa banyak orang di sekitar kita sering memberi masukan-masukan untuk nanti kedepan bisa menjadi wirausaha atau seorang guru dan lain sebagainya.
Namun, kenyataan yang saya alami berkata lain. Misal wirausaha yang bagaimana yang harus saya lakukan dan tekuni? Bagaimana bentuk dan caranya? Padahal dunia wirausaha itu dinamis. Sebaliknya pengetahuan dan skill wirausaha yang diberikan atau yang hadir bisa jadi sudah usang untuk dipakai. Dilematis.
Saya tidak mau membahas dunia pendidikan kita dan kurikulum di dalamnya yang kini seakan menjadi jalan untuk mendapatkan mimpi profesi. Padahal tidak sedikit jurusan yang sudah ada tidak lagi dilirik perusahaan.
Yang saya ketahui, tuntutan dan kebutuhan hidup terus meneror hari hari saya. Saya pun dituntut untuk memutar otak dan strategi untuk merebut peluang.
Ketiga, keberuntungan dan restu waktu. Karena sering dipaksa menyerah dalam meraih mimpi, saya juga beberapa kali bertemu dengan yang disebut dengan keberuntungan. Keberuntungan itu bukan soal saya beruntung tetap di jalan meraih mimpi. Namun, seperti orang-orang di sekitar saya yang membuat saya tetap bertahan untuk kembali lagi memikirkan hidup esok hari dan lain sebagainya. Tentu juga melalui restu si penguasa waktu yang menjadikan saya hidup hingga waktu sekarang ini.
Tiga hal tersebut adalah beberapa alasan dari sekian banyak alasan saya untuk memilih menghapus mimpi-mimpi lama saya.
Selanjutnya, saya berpikir untuk bagaimana saya tetap bahagia menjalani hidup tanpa mimpi. Saya akhirnya memilih pandangan yang seperti ini:
"Saya tidak mau lagi melabeli hal yang biasanya sering disebut dengan mimpi dan cita-cita di hidup saya. Saya merubahnya dengan "angan" sebagaimana manusia yang punya angan di dalam keinginan yang wajar adanya.
Saya harus bisa memilah 'angan' tersebut apakah itu hal yang hanya layak sebagai "hope/harapan" yang jika direstui dan beruntung akan saya peroleh. Lalu mana hal yang layak sebagai "Ekspektasi/keinginan" yang bisa diperoleh jika hal itu pun masih relevan, saya sukai, dan terealisasi segera."
Dalam hal ini, saya hanya ingin mengungkapkan bahwa menjadi manusia yang terjebak di jurang kekecewaan karena gagal dalam meraih mimpi atau cita-cita itu semestinya tidaklah menjadi hal yang berperan penting dalam proses hidup. Lagi-lagi karena kehidupan ini berjalan dinamis.
Selain itu pula, mengembalikan semangat hidup itu tidaklah segampang seperti yang dikatakan motivator yang semakin kesini membuat orang-orang di sekitar saya menjadi pemuja kata-katanya dibandingkan aksinya paska tersadar untuk semangat yang bersifat sementara. [k]