Saturday, September 22, 2018

Etika


"Seperti warung dengan penjual yang berjualan barang rohani". Plato mengibaratkan tentang kaum Sofis.

Sofis berubah-ubah makna sesuai dengan zamannya. Pernah bermakna sebagai orang yang bijaksana, cendekiawan. Pernah juga di zaman Sokratik diberi makna penipu yang menggunakan argumen-argumen seenaknya sendiri agar dipercaya orang lain.

Keadaan Athena saat itu sudah sangat jelas menggambarkan dinamika manusia saat dihadapkan dengan kondisi sosial. Bahkan, nyawa Sokrates pun dikorbankan di tengah perdebatan akan kebenaran yang diyakini.

Pengetahuan digadang mampu menciptakan keadaan sosial yang ideal dengan kebenaran yang diyakini bersama. Namun apakah manusia dapat sepenuhnya -tanpa penolakan- mengamini secara hakiki apa yang disebut sebagai kebenaran itu? Belum lagi saat bencana berupa hegemon tanpa disadarii masuk melalui sela-sela proses kehidupan sosial.

Satu pertanyaan lagi, dapatkah seorang yang dianggap "bijaksana" dan "ahli/cendekiawan" itu sudah menjadi pihak yang paling benar dalam pikiran dan tindakan, kemudian diamini semua orang di sekitarnya?


Jawaban yang dapat terbaca dari masa Sokratik adalah matinya Sokrates karena berani berbeda jalan dibandingkan yang lainnya.

Dalam catatan Plato, Sofis saat itu identik dengan hegemoni dalam bidang "rohani" yang dijadikan bahan pengetahuan bagi masyarakat Athena. Tentu, hingga sekarang, keyakinan akan rohani adalah hal yang sensitif jika dibahas dan diperdebatkan. Hingga nyawa pun menjadi taruhan saat tidak lagi ditemukan jalan "menerima" dalam "perbedaan".

Dalam sejarah Islam era Nabi, ada sebuah cerita dari kitab-kitab Shahih, yakni tentang adanya seseorang bernama Dzul Khuwaishirah. Seorang penduduk Najed dari Bani Tamim yang disebut juga dengan “orang-orang yang pandai membaca al-Quran tetapi tidak melewati kerongkongan atau tenggorokan mereka”.

Nabi Muhammad juga mengatakan bahwa kelak akan bermunculan orang-orang sebagaimana Dzul itu. Yakni orang-orang yang membaca al-Quran tetapi tidak sampai ke hati mereka atau tidak mempengaruhi hati mereka. Sehingga mereka dengan mudah mencela, menyalahkan, mengkafirkan sesama/seagama yang tidak sepaham (sependapat) dengannya. Bahkan menghalalkan darahnya dari perbedaan pikiran itu.

Orang-orang seperti Dzul ini adalah mereka yang juga sering dilabeli sebagai seorang yang terlihat ahli/cendekiawan di bidangnya oleh orang lain. Karena label tersebut, ia menjadi merasa paling bijak dan paling benar sebagaimana label itu diberikan padanya.

Orang-orang seperti Dzul Khuwaishirah ini sangat pandai atau lincah dalam penyampaian argumennya mengenai sesuatu yang sedang dibahas. Karena kepandaian atau kelincahannya itu, ia dapat diikuti oleh banyak orang dan dapat merasa paling benar di bidangnya.

Ya, lagi-lagi apalagi tentang pembahasan keyakinan atau kerohanian yang sangat sensitif. Akhirnya karena tingginya kepercayaan dirinya atas kebenaran yang diyakini dan dipikirkan itu. Ia menjadi tidak menerima perbedaan pemikiran dengan jalan apapun dan proses apapun.

Perihal orang-orang seperti Dzul ini, dari Hudzaifah Radhiyallahu anhu, nabi bersabda, “Sesungguhnya yang paling aku khawatirkan atas kamu adalah seseorang yang telah membaca al-Quran, sehingga ketika telah tampak kebagusannya terhadap al-Quran dan dia menjadi pembela Islam. Dia terlepas dari al-Quran itu sendiri. Membuangnya di belakang punggungnya dan menyerang tetangganya dengan pedang dan menuduhnya musyrik”. Hudzaifah lalu bertanya, “Wahai nabi Allah, siapakah yang lebih pantas disebut musyrik, penuduh atau yang dituduh?”. Beliau menjawab, “Penuduhnya”.

Kisah Dzul dari Bani Tamim era nabi ini menjadi peringatan dan pelajaran yang berharga pada manusia di segala zaman. Begitupun kisah Sokrates dan kaum Sofis di Athena.

Hal yang sensitif di sini, jika membaca apa yang dilakukan nabi, bahwa nabi sendiri dalam penyampaian ajarannya selalu mengedepankan dirinya sebagai contoh. Lalu banyak orang mengikuti dan mencintainya sehingga menjadi pengikutnya. Bukan mengedepankan argumentasi yang subyektif dan cenderung menutup perbedaan dalam pandangan, tentu Islam tidak akan diterima oleh masyarakat.

Islam menjunjung tinggi kemanusiaan. Dalam kemanusiaan, kebenaran adalah urusan jiwa dan tidak memaksa untuk membenarkannya kepada semua jiwa yang ada.

Menjadi manusia yang dilabeli sebagai seorang yang "bijaksana", "ahli", atau meyakini dirinya berpengetahuan tinggi dalam suatu hal, dapat menjadikan adanya perubahan yang diyakini ideal bagi sosial. Tentu juga bisa menjadi bumerang jika pada dinamikanya terisi sifat yang jauh dari manusia yang berperikemanusiaan itu sendiri.

Halalnya darah seseorang karena perbedaan dan tingginya keyakinan akan yang dipikirnya tentu bukanlah dapat dikatakan sebagai manusia itu sendiri. Apakah ada agama yang menyuruh saling membunuh karena perbedaan keyakinan? Tentu tidak. Hanya manusia yang lupa bahwa dirinya manusia yang sama dengan lainnya yang berani dan rela melakukan hal tersebut.


Lalu, bagaimana dengan keadaan sosial sekarang? Sepertinya keadaan sebagaimana yang tertulis di atas semakin terlihat jelas di depan mata. Penjual rohani memburu kita. Pelabelan "salah", "sesat", dan semacamnya di hari-hari kita. Di kolom-kolom komentar media sosial kita.

Beretika? Seperti mimpi-mimpi di ujung senja yang didapat saat jam-jam pelajaran dan ungkapan para bijaksana yang belum tentu "bijak" sebagaimana mestinya.

Seorang teman berkata, setiap satu huruf yang keluar dari mulut kita memiliki konsekuensi yang dapat memiliki dampak positif maupun negatif. Seorang teman lagi berkata, pujian adalah racun yang mematikan. Selamat menikmati menjadi manusia. [k]