Neraka pada judul di atas bukanlah sepenuhnya mempunyai maksud 'neraka' yang telah dituliskan di kitab-kitab suci. Namun, neraka di sini barangkali bisa menjadi gambaran sebuah jalan menuju 'neraka' sebagaimana yang tertulis di kitab suci tersebut.
Neraka ada di ujung jari kita kini. Terbukti dengan setelah maraknya hoaks, ujaran kebencian, propaganda, dan semacamnya, telah berhasil membuat suasana gaduh, saling curiga, permusuhan dimana-mana, yang kesemuanya itu masih bertahan hingga kini.
Hari-hari bangsa belakangan ini diselimuti langit mendung, yang berisi amarah dan seperti gambaran perpecahan sebuah bangsa yang selama puluhan tahun katanya berbinneka tunggal ika. Dan kini bangsa itu telah secara berjamaah menggali kuburannya sendiri. Yakni menuju neraka kehancuran akibat perang antar sesama bangsanya.
Perkembangan teknologi informasi yang diharapkan akan membuka peluang menuju dunia baru bernama kemajuan, tidak sepenuhnya berjalan seperti yang didambakan. Pun, sebegitu cepatnya orang dalam menggunakan mesin teknologi yang canggih, ternyata juga malah lebih memilih disfungsi atas alat yang canggih tersebut.
Media sosial kini menjadi salah satu faktor terkuat rusaknya tatanan sosial. Hegemoni opini dan propaganda di tahun yang mendekati pesta politik lima tahunan misalnya, seperti tak terbendung. Dari sini, ruang gelap era cyberspace semakin terlihat jelas di mata kita.
Saat yang terlihat bahwa A menyerang B, ternyata itu tidak benar-benar A menyerang B. Bisa saja memang A menyerang B. Namun ternyata bisa pula pihak ketiga yang mengesankan A menyerang B. Atau bahkan B sendiri menciptakan situasi agar A seolah olah menyerang B.
Kondisi semacam itu begitu cepat terjadi dan diciptakan bahkan hanya hitungan menit. Dampak yang terjadi adalah masalah belakangan, yang terpenting adalah kepentingannya dapat selangkah lebih maju dari lawannya dan bisa secara cepat membuat lawan tersungkur.
Penciptaan hoaks, propaganda, dan semacamnya di media sosial itu tidak serta merta bisa membuat geger negeri. Bantuan jari jemari yang begitu mudahnya mengeluarkan statemen di kolom komentar dan mudahnya membagikan informasi tanpa verifikasi adalah juga peranan yang tidak bisa dinafikan. Namun itulah yang terjadi di wajah masyarakat kita sekarang.
Penulis sering merasa risih dengan masyarakat kita sekarang yang begitu mudahnya menjadi hakim yang bisa menjudge siapapun yang dianggap beda dengannya meski tanda dasar dan verifikasi di kolom kolom komentar timeline media sosialnya. Seakan-akan tindakan tersebut tidak memiliki resiko sama sekali.
Matinya Kebenaran
Ruang gelap yang tak henti diciptakan dan menutup kebenaran informasi yang seharusnya dikonsumsi publik hingga kini belum juga ditemui titik temu dan cara menyelesaikannya.
Usaha keras mencari solusi mengatasi problematika hoaks, fakenews, propaganda, dan semacamnya masih berada di atas meja diskusi dan forum seminar. Salah satu pesan yang terus digalakkan dari agenda atau usaha tersebut adalah kesadaran dan kejujuran yang harus dimiliki setiap individu.
Namun jika melihat faktanya, semua kesadaran dan kejujuran itu pun hanya ada di diskusi dan seminar saja. Saat semua sedang berada di dunia maya yang kini menjadi nyata semua kembali seperti semula.
Para politisi dan timnya masih di dunianya yang agendanya adalah menyerang lawan politiknya dengan cara apapun. Para tokoh masih fanatik dengan ormasnya yang harus lebih benar dari ormas lain. Para warga bisa sibuk menjadi tuhan dengan meluncurkan komentar dan argumentasi tak berdasar.
Kesemua itu, lagi-lagi muncul dari media sosial melalui jari-jari kita sendiri yang terlihat malah begitu kecanduan. Bahkan mungkin pun sampai satu atau dua nyawa melayang, itu bukanlah masalah kemanusiaan dan kemasyarakatan.
Begitu. Atau sepertinya memang sekarang ini kita sedang lupa bahwa kita manusia. Yang penting update, membuat buat argumen kontroversi yang akhirnya viral, rajin komentar, dan yang lebih ironi lagi adalah menang dan kalah dengan segala cara oleh para merebut kursi kuasa lima tahunan.
Nampaknya fenomena dan peristiwa seperti yang penulis jelaskan bukanlah terjadi di sini saja. Tapi hampir di segala penjuru dunia. Apa boleh kata, jari kita sendiri yang membuatnya. Kalau pun ada yang harus disalahkan, cobalah untuk melihat cermin. Begitupun bagi penulis sendiri. [M.S Junior]