Kubuka pintu rumahku dan membawa tas ransel warisan moyangku.
Di halaman rumah, kakek Plato berkata, "Bertanyalah, jangan diam. Nanti kamu tersesat. Itu pesan kakek Sokrates"
Aku lantas berjalan menuju alun-alun. Kulihat banyak sekali simpang jalan yang membuatku tertarik untuk tahu ada apa saja di setiap jalan-jalan itu. Kulangkahkan kakiku menyusurinya.
Di salah satu jalan, Marx berkata, "Keluarlah dari goa." Di jalan yang lain, Nietzche bertanya, "Kamu sungguh ingin tahu yang kamu lihat?."
Di jalan yang lain lagi, Kuhn berbisik, "Tak kasih tahu, kemaren belum tentu hari ini."
Aku gontai bertemu banyak orang. Kulanjutkan plesiranku.
Marcuse memanggilku dari ujung jalan lain, "Sebentar, wajahmu sudah berubah apa belum."
Sedang Vito masih duduk di mejanya yang setelah sekian lama ia perjuangkan. Vito berkata, "Dari dulu, binatang memang suka perang. Dan kini, Barbar lebih parah lagi, kepala mereka berisi api yang dibuatnya sendiri dan akan membakar bumi."
"Priit.." Ternyata di dekat lampu merah, Comte memberitahu kalo aku harus terus berjalan.
Aku melangkah lagi dan lagi. Kulihat ada lorong lorong kumuh yang sepertinya bekas digunakan sebuah pesta. Aku mendekatinya.
Kulihat tiga laki-laki meneguk birnya lalu berkata, "Mari sini ikut minum. Kita mabuk bersama. Mabuk diri, mabuk kuasa, mabuk bendera."
Kulihat lagi ada wanita disamping tong sampah. Ia ternyata sedang keenakan nungging gaya anjing dan mendesah, "Ah.. Ah.. Ah.. Enak ya kalau atas nama hijrah."
Sebelum keluar dari lorong itu, kutemui sekelompok anak sekolah, berseragam, bersepatu. Semua berbaris rapi. Kutanya pada mereka, "Dapat ilmu apa saja nih dari sekolah?". Mereka Menjawab, "Di jurusanku, aku akan menjadi pegawai koperasi. Membanggakan orangtuaku dan followerku."
Akhirnya aku keluar dari lorong itu, kulihat ada sebuah kota dan kudekati pintunya. Ternyata Ali si pintu kota Ilmu. Aku hendak masuk namun ali mencegahku. "Pulanglah. Kamu belum saatnya masuk kota ini."
Kutanya kenapa demikian?. Ali menjawab lagi, "Pulanglah dan tulislah semua yang terjadi di sekitarmu. Yang pasti, jika kamu ingin tahu mengapa kota ini ada, jawabannya hanya satu; Innama buistu liutammima makarimah akhlah. Jika bukan itu, padang gersang yang akan ditinggali manusia."
Aku menundukkan kepalaku dan pulang. Kututup pintu dan berdiri di depan kaca. Kutampar wajahku. Kutampar setiap hari setelah bangun dari mimpi mimpiku. Kutampar sebelum aku ikut-ikut menampar dan membakar. [k]