Thursday, November 8, 2018

Muslim Seperti Ini yang Akan Merusak Islam Sendiri



Akeh kang apal Qur'an Hadist e......
Seneng ngafirke marang liyane...
Kafir e dewe gak digatekke....
Yen isih kotor ati akale......

KH. Abdurrahman Wahid atau lebih dikenal Gus Dur di dalam syi'irnya secara tegas mengingatkan khususnya umat Islam agar tidak begitu mudah mengata-ngatai orang lain (labeling) "Kafir" karena beda paham atau keyakinan beragama.

Salah seorang teman pernah bercerita, ia pernah atau malah sering dikafir-kafirkan oleh teman sekolahnya. Bahkan, temannya yang mengatainya kafir tersebut sempat mengancam akan melakukan kekerasan fisik kepadanya.

"Jika kamu tidak meniggalkan kebiasaan bergaul dengan non muslim, termasuk bermain ke gereja, kamu akan saya musnahkan," begitu ancaman yang diucapkan temannya yang kebetulan dari keluarga salah satu Ormas Islam yang sering disebut-sebut radikalis.

Pada waktu itu ia berpikir, apa yang salah dengan dirinya? Ia datang ke gereja hanya untuk menemani sahabat non muslimnya ke tempat peribadatan, tidak lebih. Ritual keagamaan Islam seperi Salat dan lain-lain pun masih tetap ia jalankan. Begitupun keimanannya kepada Allah sebagai Tuhan yang Esa, tidak goyah sedikitpun. Begitu ceritanya.

Namun tanpa ada klarifikasi, temannya langsung membabi buta mengatakan dirinya sebagai "Kafir". Sehingga seiring berjalannya waktu, sempat terlintas dalam dirinya, apakah agama Islam (agamanya sendiri) yang ia yakini kebenarannya selama ini kok cenderung keras dan kejam?.

Di dalam batinnya, ia selalu menanyakan dimana letak kasih sayang sebuah agama. Padahal, kata salah satu Ustadz di kampungnya, agama Islam hadir sebagai rahmat untuk semesta alam. Faktanya, justru teror labeling semacam itu yang malah ia dapatkan.

Ia tetap kekeuh dengan pendiriannya dengan terus berpikir positif dan ingin membuktikan bahwa kasih sayang Islam atau toleransi itu nyata adanya. Namun klaim kafir atas dirinya juga terus menghantui kehidupan sehari-harinya. Tanpa sadar, hal tersebut telah membuat dirinya mengalami luka psikologis yang mendalam.

Waktu berjalan, trauma psikologis yang dialaminya perlahan mulai sedikit hilang ketika ia duduk di bangku perkuliahan. Di sana, teman-temannya tidak mempermasalahkan kebiasaanya dulu, bahkan cenderung menghargai pilihannya. Dari situ, dia mulai sedikit terbuka untuk berbagi prihal kehidupan yang pernah ia lalui. Kini, ia menemukan wajah Islam yang bisa dikatakan ramah dan toleran.

Ia beralasan bahwa kisah hidupnya yang sering ke gereja itu karena persahabatan yang sudah sangat dekat sesama manusia meskipun beda keyakinan beragama. Ia dan sahabatnya saling menghargai keyakinan tersebut hingga kini. Yang perlu dipertanyakan adalah wajah Islam yang dibawa temannya yang suka mengkafirkan itu akankah yang malah lebih diterima masyarakat? Jika benar demikian, Ia tidak tahu lagi harus bagaimana memandang rahmat Islam.

Di dalam literatur Islam, perihal mudahnya mengkafir-kafirkan orang lain merupakan sesuatu yang seharusnya tidak mudah diucapkan. Syekh Abdullah bin Husain bin Thohir dalam kitab Sullam at-Taufiq juga menghimbau, agar tidak gampang memberikan label kafir kepada sesama manusia. Sebab tuduhannya itu yang malah akan kembali pada dirinya sendiri dan tentu karena dampaknya adalah sebuah penyakit psikologis maupun sosial.



Mengapa Mudah Mengkafirkan?

Fenomena mudah mengkafirkan berawal dari pemahan agama yang terbilang dangkal dan sikap ekslusif dalam beragama. Bagi kelompok yang bersikap seperti demikian, keyakinan atau pemahaman beragama yang dipegangnya lah yang paling benar dan sesuai dengan ajaran Tuhan.

Biasanya, sikap orang-orang ekslusif selalu mengukur kesalehan beragama dari atribut-atribut budaya, yang sering dianggap sebagai sebuah bagian dari ajaran agama. Perilakunya cenderung untuk tidak toleran terhadap suatu perbedaan, dan lebih memilih menutup mata namun mudah menuduh melalui mulutnya.

Dalam pandangan Reza A Watimnena, Pemahaman agama yang seperti ini adalah pemahaman yang terjebak pada "bentuk" semata, tanpa memahami substansi, aspek ontologis dan akiologis ajaran agama atau bahkan agama itu sendiri. Perilaku beragama yang demikian, yang malah akan menutup adanya kebenaran-kebenaran yang lain dari agama yang dianutnya. Ia melihat kebenaran hanya pada kelompok atau ormasnya sendiri. Padahal, kebenaran berdasarkan pemahaman manusia sangat relatif. Karena kebenaran sejati adalah Tuhan itu sendiri.

Amin Abdullah dalam bukunya Studi Agama-agama, menyebutkan perilaku yang disebut dengan truth claim erat kaitannya dengan pemahaman beragama yang bermuara pada theologis oriented. Amin Abdullah mengutarakan, terdapat tiga karakteristik yang melekat pada diri orang yang memiliki pandangan theologis oriented dalam beragama.

Pertama, kecenderungan loyalis kepada kelompok sendiri menjadi prioritas dan diutamakan. Kedua, penghayatan serta keterlibatan pribadi terhadap ajaran-ajaran teologi begitu kental dan kuat. Ketiga, mengungkapkan perasaan dan pemikiran dengan bahasa pelaku bukan pengamat.

Paradigma semacam ini akan menghantarkan pada sikap yang cenderung eksklusif, emosional, dan kaku. Sehingga, perilaku yang ditampilkan di publik adalah sikap mendahulukan truth claim daripada dialog yang jujur dan argumentatif. Sikap ekslusif ini ditengarai Ian G. Barbour sebagai kompisisi paling dominan dalam proses pembentukan sikap dogmatis dan fanatik (Amin Amdullah, Studi Agama-agama).

Begitulah, jika agama dihadirkan dan berhenti di ruang teologis. Yang ada adalah sikap intoleran dan eksklusif dalam beragama. Padahal, ada banyak pendekatan yang bisa digunakan untuk mengkaji dan memahami agama, seperti historis, fenomenologis dan lain-lain. Sehingga umat beragama bisa berpikir terbuka dan menerima perbedan dalam berpendapat.

Memang, semua agama nyaris tidak bisa menghindari truth claim. Tapi yang perlu diperhatikan dan diingat, bahwa ada dua dimensi dalam beragama, yakni dimensi private dan public. Dimensi private ia berkeharusan menyakini apa telah diimani adalah benar. Di sisi lain, ia juga harus mempertimbangkan dimensi publik, yakni menghargai apa yang diimani pemeluk agama lain sebagai kebenaran yang diyakininya.

Dengan demikian, antar pemeluk agama atau antar sekte dapat saling menghargai dan tidak mudah menyalahkan dan menuduk kelompok lain. Tentunya, kita tidak ingin kalau ada pemeluk agama yang takut dengan agamanya sendiri, bukan? Begitu.

Sekali lagi, Islam itu rahmat, bukan batu yang keras seperti cara pandang anggota ormas yang bringas hati dan nalarnya. [Stink]