Di sekitar kita ada banyak orang yang dalam tingkah laku dan ucapannya merasa unggul, merasa benar, dan paling tahu. Tak terkecuali khususnya tentang Islam.
Tidak sedikit pula orang yang mendapat predikat ulama oleh umatnya pun sama. Bahkan membenarkan ormasnya meski yang dilakukan ormasnya sudah bukan mencerminkan wajah islam yang semestinya penuh dengan kasih sayang.
Ada sebuah riwayat dari Shahih Muslim, Bab Min Fadla’il Musa di dalam bukunya Abd. Moqsith Ghazali yang menggambarkan Islam dan pluralisme atau Islam dalam memandang agama lain. Kalau di Indonesia ya yang selain Islam tentunya.
Begini kisahnya;
Pada suatu hari di abad ke-7, ada dua orang Madinah bertengkar. Yang satu Muslim dan yang satu lagi Yahudi. Yang pertama mengunggulkan nabi Muhammad. Yang kedua mengunggulkan nabi Musa. Karena tak sabar berdebat, orang Muslim itu memukul muka si Yahudi.
Orang Yahudi itu kemudian mendatangi dan mengadukan tindakan Muslim itu kepada Nabi Muhammad, yang saat itu memimpin kehidupan kota Madinah.
Ia ceritakan kronologi dari apa yang terjadi. Maka Rasulullah pun memanggil Si Muslim dan berkata:
"Janganlah kau unggulkan aku atas Musa. Sebab di hari kiamat semua umat jatuh pingsan, dan aku pun jatuh pingsan bersama mereka. Dan akulah yang pertama bangkit dan sadar, tiba-tiba aku lihat Musa sudah berdiri di sisi Singgasana. Aku tidak tahu, apakah ia tadinya juga jatuh pingsan lalu bangkit sadar sebelumku, ataukah dia adalah orang yang dikecualikan Allah".
Ada kalimat menarik yang diucapkan Nabi Muhammad yakni, "Janganlah kau unggulkan aku atas Musa".
Nabi Muhammad enggan dibandingkan atau diunggulkan dengan Musa. Entah mungkin karena Islam bukanlah agama yang baru yang hadir yang tidak ada hubungannya dengan agama sebelum-sebelumnya. Dan Moqsith Ghozali di dalam bukunya seperti mengungkap kembali melalui hadis tersebut bahwa Islam adalah sambungan (bukan musuh) dari agama para nabi sebelumnya.
Melihat realitas yang terjadi di sekitar kita, banyak orang dan ormasnya merasa unggul dan paling Islam bahkan sampai membenarkan hal-hal yang jauh dari ajaran menghargai baik sesama Islam apalagi kepada agama lainnya.
Yang kedua yakni, nabi berkata, ”aku tidak tahu…”.
Nabi masih menguatkan bahwa tidak boleh merasa dan memaksa tahu yang kita tidak tahu. Apalagi membenarkan sebuah penyimpangan apalagi sebuah tindakan aniaya kepada yang tidak sepemahaman dengannya.
Kalau sekarang mengkin salah satu contohnya yakni, apa kata Ustadz Instagram, meski tidak berdasar seakan harus dibenarkan dan diamini. Seakan ustadz Instagram mengetahui segala perkara dunia. Dan anehnya ustadz ini menjawabnya dengan merasa tahu. Dan yang tidak sepakat akan dibully dan dikecam habis-habisan oleh pengikutnya.
Memang, kedua ucapan Nabi Muhammad, nabi semesta alam, seperti telah tenggelam di kaumnya sendiri. Semua seperti sedang berpesta pengunggulan diri dan pembenaran sesuatu yang bahkan tidak diketahui.
Penulis akhir-akhir bersama teman-teman ngopi sering menampar wajah melalui lagunya Sirkus Barock Sawung Jabo yang liriknya begini;
"Aku bosan mendengar omongan sendiri. Aku muak menipu diriku sendiri. Pura-pura mengerti yang aku tak tahu. Hanya karena takut dianggap bodoh.."
Mari bercermin. Mari berenang ke dalam samudra untuk mengenal Muhammad:)