Thursday, March 21, 2019

Kontra-Hegemoni


Yang jelas, di dalam sejarah pesta politik bangsa ini hanya ada dua hal yakni 'harapan' dan 'kekecewaan'. Dan sepertinya tentang dua hal tersebut, harapan ratusan jiwa bangsa ini masih di ranah utopian dan kekecewaan yang ada masih menjadi rutinitas murahan.

Bagaimana tidak, manifesto politik yang ada memang bukan berlandaskan demokratik, akan tetapi berlandaskan persekongkolan.

Di setiap pesta politik terjadi, persekongkolan politis masih memiliki kuasa totaliter dalam sketsa jalannya sejarah bangsa yang lahir 1945 lalu. Terbukti dengan harapan masa depan sejarah ditentukan dan ditafsiri secara sewenang-wenang oleh pemenang, bukan dari kontekstualitas bangsa dan zaman.

Pesan yang disampaikan di dalam kitab undang-undang "......bahwa sesungguhnya kemerdekaan adalah hak semua bangsa…" belum terlaksana hingga kini.

Hegemoni proses jalannya sebuah bangsa dan sejarah yang mengikutinya oleh para politisi atau yang katanya tokoh bangsa, dianggap sebagai suatu jalan yang sangat layak ditempuh. Sedangkan yang berani berbeda akan dilabeli sebagai lawan dan dosa besar. Ini diartikan, siapapun yang akan menang di pesta politik akan tetap sama seperti demikian.

Begitupun dalam ranah teknis, hegemoni massa pun demikian. Siapa yang enggan ikut persekongkolan dan mengamini hegemoninya maka ia tidak layak dan tidak boleh mengeluarkan suara.

Maka, di dalam sejarah politik bangsa ini masih akan berkutat pada harapan dan kekecewaan yang akan terus berulang-ulang. Meskipun pada dasarnya, harapan itu ada kaitannya dengan sebuah capaian. Namun capaian itu di sejarah bangsa ini bukan milik semua bangsa akan tetapi milik persekongkolan para pemenang.

Mengutip Marx, "Manusia membuat sejarah, tapi bukan membuatnya semau mereka."

Matinya demokratisasi di negara yang katanya demokrasi adalah sebuah bentuk bentuk manifesto  semu. Sebab hegemoni persekongkolan masih tumbuh subur dan diimani sebagai jalannya revolusi.

Lalu, kapankah kontra-hegemoni seperti ini di dalam sketsa sejarah politik bangsa mendapatkan ruang sebagai bagian dari demokratis? Jika pun ada dan tercerita di dalam sebuah tulisan atau buku pun akan dibumihanguskan sebab bukan bagian dari tafsir sejarah versi gerombolan.

No comments: