Thursday, April 25, 2019

Candu


"Siapa aku? Barangkali aku ini apa? Aku ini siapa?"

Ia berkata kepada kucingnya sambil memukul-mukul barang-barang yang ada di laboratoriumnya setelah berhasil membunuh sebagian musuh-musuhnya.

"Apakah aku harus menari-menari yang akan memberi pertujukan? Bayar lima ribu.."

Peyton, di film Darkman itu, wajahnya dan seluruh tubuhnya ditutup perban putih yang tak lagi putih, yang entah sudah sekian lama ia mengenakannya setelah ia dibakar.

Peyton, si profesor itu, tak lagi mampu mengendalikan diri setelah sekian lama meneliti sel-sel kulit untuk mengembalikan wajah aslinya, dan ternyata di akhir penelitiannya tersebut tidak sesuai yang diinginkan.

Rekonstruksi program yang dijalankannya selesai, melalui pemberitahuan komputer, namun ia tidak mendapatkan sebuah jawaban sesuai diharapakan.

Ia terengah-engah setelah memukul-mukul barang-barang dan menari-nari yang menunjukkan psikologi orang yang hilang kendali.

"Kendalikan diri Peyton, kamu seorang profesor. Seharusnya memakai analisis dan ilmiah." Ia berbicara dengan dirinya sendiri setelah mencoba merenung sejenak.

Ia masih saja bersembunyi dan berdiam diri di dalam ruang laboratoriumnya, hingga seorang wanita (kekasihnya) masuk ke ruangnya dan menawarkan bantuan. Namun ia masih saja bersembunyi.

Profesor Peyton yang wujudnya sudah hampir tidak menyerupai layaknya manusia itu seperti sudah terserang sindrom keinginan atas hal yang hingga membuatnya hampir saja lupa diri.

Di sini, sebuah bentuk "ingin" yang dapat membuat "candu" seseorang, -terlepas dari konteks balas dendam Peyton-, bahkan bisa membuat lupa diri alias gila adalah realitas yang nyata dan bukan hanya mampu menjerat satu dua orang saja melainkan secara massal pun bisa.

Di media sosial, candu telah menjadi sindrom yang menjerat sebagian besar penggunanya di hampir setiap waktu berputar dan terus mengganti hari.


Candu ini lahir dari ingin dan hasil yang bersumber dari naluri terdalam manusia dalam wajah eksistensialismenya. Yang bahkan bukan lagi berbentuk eksistensialisme murni manusia. Namun, lebih dalam lagi, telah menjadi virus yang dengan sengaja diidap oleh setiap jiwa (konsumsi).

Semua ini sulit diketahui siapa yang mencipta dan mengapa tercipta. Kata Baudrillard, bahwa semua yang nyata kini telah menjadi simulasi.

Simulasi, yang dalam kacamatanya, faktor terbesarnya berada di bawah kejayaan kapitalisme lanjut, dalam artian mode of production kini telah digantikan oleh mode of consumption. (Bertens, 1995: 146).

Konsumsi yang semacam ini yang kemudian menjadikan seluruh aspek kehidupan tak lebih sebagai objek, yakni objek konsumsi yang berupa komoditi. Sebuah pilihan yang tentu memiliki konsekuensi.

Prinsip nilai-guna (use-value) dan nilai-tukar (exchange-value) Marx tertolak. Kemudian, menurutnya, aktivitas konsumsi manusia pada dasarnya merupakan aktivitas non-utilitarian di masa ini.

Di era tanpa batas ini, candu telah berhasil memutus batas-batas. Tak ada barat, timur, atau Indonesia sendiri.

Yang lebih jelas dan menjerat-menjapitis adalah sebuah kenyataan atas "hyper" yang semakin nyata terwujud. Segala hal dianulir tanpa dasar, apalagi alasan.

Yang bahkan, kita bisa berkata, bahwa mati dan hidup itu tak lagi ada beda. Yang berbeda hanyalah bahwa sedang ada pesta yang sebelumnya telah ada. Katanya dan alasannya. [k]

No comments: