Setiap individu pemilik hak suara dalam pemilu serentak 17 April nanti, APBN membelanjakan sebesar Rp. 128.612 dari jumlah keseluruhan yang mencapai Rp. 25 Triliun untuk diselenggarakannya pemilu serentak 2019.
Jumlah yang sangat besar tentunya. Sehingga dari biaya yang mahal tersebut, masyarakat diminta untuk turut berpartisipasi aktif alias tidak golput dan dalam artian berlaku etis; tidak mengacuhkan konsensi yang telah diamini bersama.
Pertanyaannya, bolehkan kita, selain sama-sama menginginkan membangun bangsa dalam jangka panjang ini (demokrasi), juga dibarengi dengan pola politik yang etis pula oleh para petarung di kompetisi politik lima tahunan?
Fakta di lapangan mengatakan bahwa, "Yang jadi siapapun kayak gak ada bedanya. Korupsi masih belum juga mati!" Dilematis bukan?
Tentu hal itu kini semakin diperparah dengan pola politik citra untuk memperoleh tingginya elektabilitas yang cenderung mengesampingkan perubahan bangsa ke arah yang lebih baik lagi dari sebelumnya.
Satu tahun lalu kiranya, politik citra atau pesona mulai dibangun. Janji-janji ditebar, penguasaan media, hingga sampai memilih model polarisasi massa melalui saling membunuh citra antar peserta pemilu.
Buzzer politik dan perangkatnya disiapkan untuk menjadi benteng kritik, menjadi meriam-meriam pencecar, menjadi medium playing victim dan semacamnya.
Kesemuanya itu adalah karena sudah krisisnya nalar politik kritis-membangun. Dan tradisi politik yang ada diciptakan paling besar untuk melanggengkan kuasa konseptor dan partainya.
Jokowi dan Prabowo bolehlah melabeli diri memiliki massa yang tak terhitung karena dianggap sebagai putra terbaik oleh mereka yang mengagungkan dan membelanya mati-matian.
Namun jika tidak dibarengi dengan langkah praktis yang porsinya lebih besar dari pesona yang didapatkannya, sama saja dengan omong kosong. Kita sama saja masih berada di zona yang terlihat mata saja, belum lagi dapat dirasa karena jutaan PR bangsa lebih besar dari penyelesaiannya.
Saat masih yang terlihat hanya pemujaan pada sosok saja yang didalamnya masih berisi harapan-harapan yang belum tentu realisasinya sesuai, maka kenyataan itu adalah berwujud harapan dan mimpi. Itulah ironi politik kita yang hingga kini masih berjaya; Politik Pesona.
Borges berkata dalam salah satu sajaknya begini, "Mata adalah peranti yang rapuh,”. Atau mungkin itulah sebabnya kita seperti sedang menikmati fantasi dan imajinasi yang entah kapan dapat menjadi sebuah kenyataan yang benar-benar nyata dari apa yang selalu dibahas di panggung kampanye lima tahunan.
**
No comments:
Post a Comment