Mungkinkah memang hanya dengan tragedi kita tahu apa yang seharusnya kita hargai?
Pada mulanya memang adalah keinginan. Dan keinginan itu sudah selalu diingatkan di dalam lagunya Iwan, yakni sumber dari penderitaan.
Pun, perlu digarisbawahi bahwa sebuah keinginan yang bagaimana dulu, motifnya apa dulu, tentu perlu untuk di perdalam lagi. Atau mungkin memang ada benarnya, bahwa mayoritas penggerak roda jalannya revolusi hari ini berada di revolusi berebut kursi.
Jika menengok motivasi-motivasi revolusi Indonesia, di sebuah artikel tertulis begini; "Sungguh tak main-main: berapa puluh, berapa ratus, berapa ribu orang dipenjara dan mati untuk nama itu (Indonesia 1945)?"
Lalu apakah benar orang kini perduli pada sejarah masa lalunya? Tampaknya keinginan telah secara perlahan menghapuskannya. Terbukti dengan akan ada yang mengganti warisan kemerdekaan yang selama ini ada, nepotisme yang mendarah daging dan semacamnya.
Belum lagi dalam langkah memperoleh keinginan itu, terdapat hasrat kerelaan bahwa kedaulatan tanah multikultural ini tak ada masalah luluh lantah asal keinginan terpenuhi.
Dus, barangkali memang setelah semua pecah baru akan tersadar bahwa kita ternyata salah memutar roda berbangsa dan harus memulai dari awal lagi seperti yang sudah-sudah.
Ataukah sesungguhnya ada faktor lain yang lebih mendasar daripada keinginan yang bersifat sumber derita itu?
Apalagi kalau bukan kesadaran akan karakter suatu bangsa sedari usia muda dan kekal mendarah daging hingga tua tiba. Lalu siapa yang memegang peran atas hal ini? Mari berdialektika sebelum tragedi yang menghancurkan jalannya revolusi negeri ini datang menghantam siapa saja yang katanya berakal.
**
No comments:
Post a Comment