Pilpres Indonesia 17 April kemarin sungguh biasa saja. Tak ada yang menarik.
Lagi-lagi pertarungan antara Jokowi dan Prabowo di ring tinju yang sama. Mereka berdua berebut kursi tertinggi negeri atas nama demokrasi.
Kenapa tidak menarik?
Pertama, Politik populis masih dimainkan. Mana wilayah yang jadi kandang mereka, maka akan menang di daerah situ.
Jawa Tengah dan Jawa Timur masih jadi lumbung suara Jokowi. Jawa Barat dan Sumatra masih juga jadi lumbung suara Prabowo. Dan berbagai daerah lain yang petanya hampir sama dengan tahun-tahun sebelumnya.
Politik semacam ini menjauhkan diri dari yang dinamakan kualitas elektoralisme demokrasi yang obyektik, sebab hegemoni tanpa kritik dan kedewasaan berpolitik jauh dari kenyataan.
Hal itulah juga yang menjadi alasan mengapa demokrasi populis berdasar elektoral yang demikian ini, bagi sebagian orang disebut-sebut menuju ke arah infantil disorder alias kekanakan.
Salah satu yang menjadi penyebabnya karena hegemoni dan mitos yang dibangun kepartaian lebih diunggulkan dibandingkan jalannya proses politik demokrasi yang logis serta kritis.
Kedua, Strategi politik siber yang menjadi langkah lanjutan dibandingkan tahun lalu. Kedua kubu sama-sama lebih menggunakan siber sebagai war dibandingkan sebatas kampanye.
Dari sana, lahirlah para buzzpol (buzzer politik) yang tak lagi menggunakan nalar serta etika berpolitik untuk kedewasaan sejarah bangsa. Lahirlah pula hiperealisme akut melalui hoaks dan fake news yang semakin membudaya serta menjauhkan bangsa ini menjadi miskin martabat.
Ketiga, politik dalam bingkai identitas masih menjadi senjata. Hal ini meskipun sudah dilazimkan dan diketahui akan mengancam kedaulatan. Namun bagi dunia pertarungan seperti dihalalkan begitu saja.
Perang komentar Ustadz yang pro sana dan sini yang juga menjadi acuan bangsa dalam politik hingga labeling pro dan anti atas agama tertentu menjadi bukti nyata bahwa politik ini tidak revolusioner.
Bagi sebagian orang, atau bagi para elit ini dianggap sebagai progresifitas karena kaum religius berpartisipasi aktif membangun negara. Tapi apa yang terjadi? Ternyata sebaliknya.
Barangkali progress ke balik diri ke kemunduran nalar sebab sampai kesucian agama sering tercederai dan terpolitisi oleh hal ini.
Keempat, Politik topeng masih tumbuh subur di sketsa perjalanan bangsa ini. Para pebisnis yang meski telah mengkapitalisasi segala hal direpublik ini yang justru menjadi pemimpin-pemimpin yang duduk di kursi pemerintahan.
Terbukti dengan pemilik perusahaan raksasa di republik ini yang mempunyai keuntungan menggunung dimiliki oleh mereka yang ada di kursi senayan. Kenapa hal ini tidak dibenarkan? Karena mengapa bukan BUMN yang menjalankan?
Demikian beberapa alasan kenapa politik dan demokrasi kita biasa aja dan tidak menarik. Tentu masih banyak lagi alasan lain yang memhambat jalannya kemajuan republik ini.
Pemilu sebagai jalan atau cermin politik kita, bagi zaman kini barangkali memang dimaknai sebatas ring tinju untuk mendapat piala semata. Siapa yang memiliki piala, dialah yang akan berkuasa.
Menarik adalah ketika bangsa mampu menjadi kiblat dunia atau internasionalisme terjadi. Ini adalah cita-cita kemerdekaan 1945 lalu.
Mungkin internasionalisme itu masih di mimpi-mimpi suara bangsa yang benar-benar menjiwai menjadi bangsa Indonesia yang sesungguhnya.
Bukan malah sebaliknya. Sesama bangsa hanya berebut menjadi penjajah di republik sendiri. Politik di sini menjadi jalan yang bukan merubah ke arah kemajuannya tapi sebaliknya.
Tentang geger politik yang biasa aja ini dan menonjolkan kuantitas, kekanakan, anti kemapanan, dan demokrasi yang masih berwujud plutokrasi ini adalah pilihan. Toh, bangsa ini juga yang akan menjalani.
Mungkin, di hari-hari yang masih panas sampai menunggu pengumuman siapa yang menang, adalah bukti bahwa pemikiran "Kalau bisa ribut ngapain damai?" masih jadi wajah kualitas nalar berbangsa bangsa ini. Salam.
No comments:
Post a Comment