Monday, April 22, 2019

Paranoia


Saya semakin paranoid terhadap kata "kita" akhir-akhir ini.

Saya merasa benar-benar menjadi orang yang paling kesepian meskipun dengung "kita" ada setiap waktu.

"Kita" di sini, sebuah kata yang menjadikan saya berada di dalamnya dan itu yang menjadi alasannya.

Akhir-akhir ini, maksud saya tak lain adalah suasana politik. Dan, pada politik kali ini, saya berani menyimpulkan bahwa kebencian telah disulap menjadi doktrin untuk memenangkan kursi politik itu sendiri.

Saya juga berani menyimpulkan bahwa makna dari politik sendiri telah cukup lama dirubah secara sistemik lewat gerakan birokratik yang tidak mengenal dialektika. Siapa lagi kalau bukan para politisi.

"Kita" di dalam goresan sejarah "politik" Indonesia belakangan, adalah legitimasi oleh kata yang seharusnya adalah "kami" yang melawan "mereka". Kelompok kami versus kelompok mereka.

"Kita" telah lepas dari makna sebuah percakapan, proses, "untuk..", dan yang menjadikan ke arah sikap perjuangan "dari" mengapa kita merdeka 70 tahun lebih lalu.

Dan "kita", di dalam politik, masih bisa lepas pula dari sebuah jerat dan jerat yang dapat begitu beracun seketika, menyebar ke setiap jiwa dan akal bangsa.

Dalam sejarah Indonesia sendiri, pada kisaran tahun 1960-an, di bawah demokrasi terpimpin, jepit dan jerat itu misalnya terbentuk dalam kata "kontra-revolusioner".

Saya mencoba juga untuk belajar di sana.

Kata ini (kita; kontra-revolusioner) bila dikenakan kepada seseorang, satu kelompok, atau satu pola sikap, dapat membuat siapa yang dikenainya seakan-akan tertangkap (terjepit dan terjerat) menjadi sasaran untuk layak diserang.

Kontra-revolusioner dijamannya pun juga bertransformasi, yang awalnya adalah siapa yang acuh untuk mengamini dalam menyerang koloni. Dan di akhir 60-an, bertransformasi menjadi yang sama artinya dengan musuh republik, pengkhianat pertiwi, dan segala usaha yang sedang digerakkan oleh 'Sang Pemimpin Besar Revolusi' yang tak terbantahkan.

Begitu kiranya. Lalu sekarang pun hampir sejalan dalam lanskap perjalannya. "Kita" bahkan seakan lepas dari gerakan. Kita menjadi metafora untuk melawan "dalam penguasaan" saja, dan dalam kontestasi saja.

Secara ideal, memang politik bukan hanya “kami” menghadapi “mereka”, tapi juga (atau justru) “kami” yang berusaha terus menerus membentuk “kita”. Tapi apalah artinya di bumi yang krisis etis ini, di dalam perjalanannya yang katanya 'berkemajuan'.

Saya juga menjadi paranoid di sini karena kata "kita", yang dipakai oleh para punggawa perebut tirani politik menang-kalah, telah membuat pening kepala setiap insan yang selalu terjebak "harapan" kemajuan dan kesejahteraan.

Syahdan, apakah "kita" di perjalanan bangsa ini menjadi kemustahilan?

Barangkali memang segala yang sudah membudaya akan sulit dikoreksi dan diperbaiki. Bisakah jika memang hanya untuk menang dan kalah berani untuk berkata "saya", "kami" yang sedang melawan "meraka"?

Saya enggan membahas etika karena ia pun telah tertikam di setiap ada yang menyebut "Kita".

No comments: