Saturday, April 13, 2019

Dalam Bahasa (Politik)


Hanya ada dua makna 'Bahasa' di dalam politik. Pertama identik bermakna stimulus, dan kedua identik bermakna tragedi.

Bahasa sebagai stimulus telah lama dilazimkan. Dengan pemakaian bahasa; "Kedepan kita akan...", "Nanti akan kita...", "Kami berjanji..", dan ratusan bahasa lain yang selalu dalam bahasa-bahasa itu prinsipnya bermakna "akan membangun".

Secara instumen memang begitu. Mereka harus pandai-pandai dalam berkicau demi merebut hati pendengarnya.

Pemakaian bahasa di sini sudah seringkali emoh sebuah pertimbangan-pertimbangan oleh para pelontar. Sehingga pada ujungnya, stimulus masih sebagai stimulus, atau lebih enaknya disebut "bahasa dan janji murahan" lima tahunan.

Membangun masih sebagai angan. Sebagaimama Heidegger, tentang otokritiknya kepada abad ke-20 soal makna kata "bauen".

Makna kata itu, baginya, bukan mengacu kepada ”membangun” saja, tapi juga hidup di bawah langit, hidup di antara semua yang fana, tapi juga bagian dari apa yang tumbuh-baik karena benih sendiri atau diolah jadi kebudayaan.

Bahasa membangun menjadi hidangan makanan yang hanya bisa dicium aroma lezatnya. Bukan rasa dari makan itu sendiri.

Menjadi ironi tersendiri memang jika bahasa malah hanya difungsikan sebagai senjata dalam merebut suara untuk kuasa. Sedang saat didapatkan kuasa, bahasa stimulan membangun itu entah kemana perginya.

Memang tak bisa sepihak membincang bahasa stimulus ini dalam jalannya politik. Toh, pendengar masih suka mendengarnya meski mulutnya sering berujar bosan.

Selanjutnya, bahasa tragedi yang belakangan mulai bisa dibaca dalam segala bentuk dan ciptaan yang berkembang.

Dalam percaturan yang kian dewasa ini, katanya. Pemakaian bahasa yang sifatnya untuk menjatuhkan lawannya, seperti; "Dia itu tidak beragama...", "Keturunan ini..", "Gagal dan licik...", dan semacamnya. Yang semuanya membumi dan diamini.

Semua ditujukan untuk memukul dan melakukan hegemoni pada penalaran serta skeptikal siapa saja yang mendengar dan membacanya.

Belum lagi yang tidak pernah ada sengaja dibuat-buat, seperti berita fake, yang jika dalam bahasa ketimuran yakni tak kenal etika. Tentu lagi-lagi dijadikan sebagai senjata untuk sebuah kuasa.

Sebenarnya apa yang akan didapatkan dari yang disebut kuasa? Apalagi jika bukan sebuah kenikmatan. Namun tidakkah terlintas tentang batasan-batasan tentang mengapa kita berdaulat di bumi pertiwi ini?

Bahasa memanglah laksana arus yang tak henti memelesetkan makna. Dalam psikoanalisis Lacan, point de capiton, tentang bahasa dan makna yang ditimbulkan ini agar tetap ada pegangan, biarpun sementara, yang hal itu dilakukan untuk mematok makna kata. Ya mematok bangsa yang tetap manusiawi. Tidakkah begitum

Dalam point de capiton, makna itu bisa menjepit dan menjerat bukan hanya musuh kita, tapi juga kita sendiri. Tentu peringatan itu sangat masuk akal dalam bahasa yang sedang kita bahas ini. Bisa jadi. *

No comments: