Delapan detik setelah percobaan Bom Atom pertama di New Mexico itu berhasil diledakkan, ahli fisika nuklir, Robert Oppenheimer, si pembuatnya, mengutip Bhagawadgita, berkata, “Sekarang saya menjadi Kematian, penghancur dunia”.
Selanjutnya lahirlah tragedi Bom Atom yang meledak dan merusak, dan dijuluki sebagai Little Boy dan Fat Man satu bulan setelah percobaan di Jepang sebagai kenyataan. Oppenheimer telah tak lagi pemegang kendalinya.
Momen tunggal yang paling nyata dan paling menentukan itu terjadi pada 6 dan 9 Agustus 1945, tepatnya di Hirosima dan Nagasaki, Jepang. Bom Atom karya Oppenheimer itu telah juga mengubah alur Perang Dunia ke II.
Dari titik itu dan seterusnya, manusia memiliki kapabilitas tidak hanya mengubah alur sejarah, tetapi juga mengakhirinya (Indonesia ditinggalkan Jepang).
Dalam kurun dua sampai empat bulan pertama setelah pengeboman terjadi, dampaknya menewaskan 90.000–146.000 orang di Hiroshima dan 39.000–80.000 di Nagasaki; kurang lebih separuh korban di setiap kota tewas pada hari pertama.
Pada bulan-bulan seterusnya, banyak orang yang tewas karena efek luka bakar, penyakit radiasi, dan cedera lain disertai sakit dan kekurangan gizi.
Senjata yang mulanya tercipta atas nama perbaikan peradaban itu telah bertranformasi menjadi nafsu manusia untuk kuasa-menguasai. Untuk menjadi yang paling dikdaya.
Jika mengacu dengan apa yang dikatakan oleh F.W Nietzche (1900), manusia mempunyai apa yang disebut sebagai kehendak untuk berkuasa (Will to power). Yang dalam praktiknya, terkadang kehendak ini berimplikasi merusak peradaban itu sendiri.
Sifat manusia yang satu ini memang paradoks. Ia dapat menjadi sumber motivasi untuk menggapai suatu hal, namun di sisi lain juga bisa menjadi sebab primordial manusia. Sebuah sifat yang lebih rendah dari binatang-menghancurkan yang lainnya.
Sejarah mencatat banyak tragedi yang sebenarnya jika ditelisik dari yang paling dalam, adalah kehendak manusia untuk berkuasa yang menjelma sebagai pemahaman kolektif suatu kelompok masyarakat.
Zaman perang dunia telah berlalu. Senjata pemusnah seperti Bom Atom telah dibatasi dan diatur secara ketat oleh dewan keamanan dunia. Namun, bukan berarti tidak lagi ada penghancur peradaban umat manusia yang akan terjadi lagi dalam waktu yang sulit diprediksi. Karena tergantung pada kehendak si pemilik tirani. Atau dapat pula bentuknya akan berbeda dari Bom yang dipahami sebelumnya.
Bom Terbarukan dan Mempertanyakan Ulang Keislaman
Sejak lahirnya revolusi industri 4.0, dalam waktu yang bersamaan juga turut membangkitkan sebuah potensi merusak dalam diri manusia dalam skala massal.
Potensi merusak yang terbangkit, dan telah menjadi masalah krusial bagi umat manusia seluruh dunia itu, dalam bahasa sekarang disebut sebagai hoaks dan sejenisnya.
Sebuah persebaran atas kedustaan yang tidak lagi dapat dikontrol. Bahkan negara adi daya layaknya Amerika Serikat dalam pemilihan presidennya menjadi korban keganasan hoaks.
Dalam konteks Indonesia misalnya, mengapa pemilu bisa menjadi seramai (baca: sesemrawut) ini layaknya Amerika?
Banyak spekulasi oleh tokoh nasional di media massa mengatakan bahwah partisipasi masyarakat dalam berdemokrasi semakin tinggi. Mungkin ada benarnya, namun hal tersebut tidak menjelaskan tentang kesemrawutan yang terjadi.
Masing-masing kubu yang berkontestasi mempunyai basis pendukung, dari kalangan petani, hingga akademisi, yang luar biasa fanatiknya. Keduanya seolah mempunyai kepercayaan bahwa, jika calon presiden pilihannya tidak terpilih maka Indonesia akan hancur. Sehingga, semangat mendukung seolah dimaknai sebagai semangat patriotik menyelamatkan bangsa.
Satu-satunya yang membuat fenomena ini dapat berlangsung yakni di dalam pikiran masyarakat kita telah tertanam dusta yang luar biasa banyaknnya, yang tanpa disadari kedusdataan ini mempengaruhi bahkan telah menyetir perilakunya.
Dalam artian, perilaku yang dianggapnya benar, patriorik itu, lahir dan tercipta bukan yang benar nyatanya alias dusta yang membanjirinya melalui akses informasi.
Dari mana hoaks itu bersumber, sudah begitu tidak jelas.
Di zaman yang seperti sekarang ini, saya teringat dengan riwayat dari Nabi Muhammad.
Semasa Rasul masih hidup, seorang sahabat bertanya, ”Mungkinkah seorang Mukmin itu pengecut?"
"Mungkin,” jawab Rasulullah.
“Mungkinkah seorang Mukmin itu bakhil (kikir)?"
"Mungkin,” lanjut Rasulullah.
“Mungkinkah seorang Mukmin itu pembohong?”
Rasulullah SAW menjawab, ”Tidak!”
Kemudian Nabi SAW berwasiat agar kaum muslimin berpegang teguh pada kejujuran dan membuang jauh-jauh sifat pembohong. Beliau bersabda, “Berpegang teguhlah dalam berkata jujur...”(HR. Bukhari dan Muslim).
Di sini, khususnya di Indonesia, jika menilik dan belajar dari era penghancuran fisik Nagasaki-Hirosima hingga dapat menjadi Bom waktu yang akan lebih berbahaya lagi, masihkah setiap yang Muslim, sebagaimana bangsa dengan penduduk muslim terbesar di dunia, yang berakhlak dan bertakwa, layaknya harus mempertanyakan ulang, "Sudah pantas menjadi muslimkah saya?". Begitu. [Sigit A.F]