Thursday, April 25, 2019

Bom Atom, Bom Waktu, dan Bom Nalar


Delapan detik setelah percobaan Bom Atom pertama di New Mexico itu berhasil diledakkan, ahli fisika nuklir, Robert Oppenheimer, si pembuatnya, mengutip Bhagawadgita, berkata, “Sekarang saya menjadi Kematian, penghancur dunia”.

Selanjutnya lahirlah tragedi Bom Atom yang meledak dan merusak, dan dijuluki sebagai Little Boy dan Fat Man satu bulan setelah percobaan di Jepang sebagai kenyataan. Oppenheimer telah tak lagi pemegang kendalinya.

Momen tunggal yang paling nyata dan paling menentukan itu terjadi pada 6 dan 9 Agustus 1945, tepatnya di Hirosima dan Nagasaki, Jepang. Bom Atom karya Oppenheimer itu telah juga mengubah alur Perang Dunia ke II.

Dari titik itu dan seterusnya, manusia memiliki kapabilitas tidak hanya mengubah alur sejarah, tetapi juga mengakhirinya (Indonesia ditinggalkan Jepang).

Dalam kurun dua sampai empat bulan pertama setelah pengeboman terjadi, dampaknya menewaskan 90.000–146.000 orang di Hiroshima dan 39.000–80.000 di Nagasaki; kurang lebih separuh korban di setiap kota tewas pada hari pertama.

Pada bulan-bulan seterusnya, banyak orang yang tewas karena efek luka bakar, penyakit radiasi, dan cedera lain disertai sakit dan kekurangan gizi.

Senjata yang mulanya tercipta atas nama perbaikan peradaban itu telah bertranformasi menjadi nafsu manusia untuk kuasa-menguasai. Untuk menjadi yang paling dikdaya.

Jika mengacu dengan apa yang dikatakan oleh F.W Nietzche (1900), manusia mempunyai apa yang disebut sebagai kehendak untuk berkuasa (Will to power). Yang dalam praktiknya, terkadang kehendak ini berimplikasi merusak peradaban itu sendiri.

Sifat manusia yang satu ini memang paradoks. Ia dapat menjadi sumber motivasi untuk menggapai suatu hal, namun di sisi lain juga bisa menjadi sebab primordial manusia. Sebuah sifat yang lebih rendah dari binatang-menghancurkan yang lainnya.

Sejarah mencatat banyak tragedi yang sebenarnya jika ditelisik dari yang paling dalam, adalah kehendak manusia untuk berkuasa yang menjelma sebagai pemahaman kolektif suatu kelompok masyarakat.


Zaman perang dunia telah berlalu. Senjata pemusnah seperti Bom Atom telah dibatasi dan diatur secara ketat oleh dewan keamanan dunia. Namun, bukan berarti tidak lagi ada penghancur peradaban umat manusia yang akan terjadi lagi dalam waktu yang sulit diprediksi. Karena tergantung pada kehendak si pemilik tirani. Atau dapat pula bentuknya akan berbeda dari Bom yang dipahami sebelumnya.

Bom Terbarukan dan Mempertanyakan Ulang Keislaman

Sejak lahirnya revolusi industri 4.0, dalam waktu yang bersamaan juga turut membangkitkan sebuah potensi merusak dalam diri manusia dalam skala massal.

Potensi merusak yang terbangkit, dan telah menjadi masalah krusial bagi umat manusia seluruh dunia itu, dalam bahasa sekarang disebut sebagai hoaks dan sejenisnya.

Sebuah persebaran atas kedustaan yang tidak lagi  dapat dikontrol. Bahkan negara adi daya layaknya Amerika Serikat dalam pemilihan presidennya menjadi korban keganasan hoaks.

Dalam konteks Indonesia misalnya, mengapa  pemilu bisa menjadi seramai (baca: sesemrawut) ini layaknya Amerika?

Banyak spekulasi oleh tokoh nasional di media massa mengatakan bahwah partisipasi masyarakat dalam berdemokrasi semakin tinggi. Mungkin ada benarnya, namun hal tersebut tidak menjelaskan tentang kesemrawutan yang terjadi.

Masing-masing kubu yang berkontestasi mempunyai basis pendukung, dari kalangan petani, hingga akademisi, yang luar biasa fanatiknya.  Keduanya seolah mempunyai kepercayaan bahwa, jika calon presiden pilihannya tidak terpilih maka Indonesia akan hancur. Sehingga, semangat mendukung seolah dimaknai sebagai semangat patriotik menyelamatkan bangsa.

Satu-satunya yang membuat fenomena ini dapat berlangsung yakni di dalam pikiran masyarakat kita telah tertanam dusta yang luar biasa banyaknnya, yang tanpa disadari kedusdataan ini mempengaruhi bahkan telah menyetir perilakunya.

Dalam artian, perilaku yang dianggapnya benar, patriorik itu, lahir dan tercipta bukan yang benar nyatanya alias dusta yang membanjirinya melalui akses informasi.

Dari mana hoaks itu bersumber, sudah begitu tidak  jelas.

Di zaman yang seperti sekarang ini, saya teringat dengan riwayat dari Nabi Muhammad.

Semasa Rasul masih hidup, seorang sahabat bertanya, ”Mungkinkah seorang Mukmin itu pengecut?"

"Mungkin,” jawab Rasulullah.

“Mungkinkah seorang Mukmin itu bakhil (kikir)?"

"Mungkin,” lanjut Rasulullah.

“Mungkinkah seorang Mukmin itu pembohong?”

Rasulullah SAW menjawab, ”Tidak!”

Kemudian Nabi SAW berwasiat agar kaum muslimin berpegang teguh pada kejujuran dan membuang jauh-jauh sifat pembohong. Beliau bersabda, “Berpegang teguhlah dalam berkata jujur...”(HR. Bukhari dan Muslim).


Lalu, hari ini di banjir kedustaan yang diproduksi secara masal dan setiap waktu yang dampaknya bisa melebihi Bom Atom, melainkan Bom Waktu yang akan merusak dan meluluhlantakan setiap sendi kehidupan dan tak kena batas teritori, adalah sebuah ironi zaman kini.

Di sini, khususnya di Indonesia, jika menilik dan belajar dari era penghancuran fisik Nagasaki-Hirosima hingga dapat menjadi Bom waktu yang akan lebih berbahaya lagi, masihkah setiap yang Muslim, sebagaimana bangsa dengan penduduk muslim terbesar di dunia, yang berakhlak dan bertakwa, layaknya harus mempertanyakan ulang, "Sudah pantas menjadi muslimkah saya?". Begitu. [Sigit A.F]

Candu


"Siapa aku? Barangkali aku ini apa? Aku ini siapa?"

Ia berkata kepada kucingnya sambil memukul-mukul barang-barang yang ada di laboratoriumnya setelah berhasil membunuh sebagian musuh-musuhnya.

"Apakah aku harus menari-menari yang akan memberi pertujukan? Bayar lima ribu.."

Peyton, di film Darkman itu, wajahnya dan seluruh tubuhnya ditutup perban putih yang tak lagi putih, yang entah sudah sekian lama ia mengenakannya setelah ia dibakar.

Peyton, si profesor itu, tak lagi mampu mengendalikan diri setelah sekian lama meneliti sel-sel kulit untuk mengembalikan wajah aslinya, dan ternyata di akhir penelitiannya tersebut tidak sesuai yang diinginkan.

Rekonstruksi program yang dijalankannya selesai, melalui pemberitahuan komputer, namun ia tidak mendapatkan sebuah jawaban sesuai diharapakan.

Ia terengah-engah setelah memukul-mukul barang-barang dan menari-nari yang menunjukkan psikologi orang yang hilang kendali.

"Kendalikan diri Peyton, kamu seorang profesor. Seharusnya memakai analisis dan ilmiah." Ia berbicara dengan dirinya sendiri setelah mencoba merenung sejenak.

Ia masih saja bersembunyi dan berdiam diri di dalam ruang laboratoriumnya, hingga seorang wanita (kekasihnya) masuk ke ruangnya dan menawarkan bantuan. Namun ia masih saja bersembunyi.

Profesor Peyton yang wujudnya sudah hampir tidak menyerupai layaknya manusia itu seperti sudah terserang sindrom keinginan atas hal yang hingga membuatnya hampir saja lupa diri.

Di sini, sebuah bentuk "ingin" yang dapat membuat "candu" seseorang, -terlepas dari konteks balas dendam Peyton-, bahkan bisa membuat lupa diri alias gila adalah realitas yang nyata dan bukan hanya mampu menjerat satu dua orang saja melainkan secara massal pun bisa.

Di media sosial, candu telah menjadi sindrom yang menjerat sebagian besar penggunanya di hampir setiap waktu berputar dan terus mengganti hari.


Candu ini lahir dari ingin dan hasil yang bersumber dari naluri terdalam manusia dalam wajah eksistensialismenya. Yang bahkan bukan lagi berbentuk eksistensialisme murni manusia. Namun, lebih dalam lagi, telah menjadi virus yang dengan sengaja diidap oleh setiap jiwa (konsumsi).

Semua ini sulit diketahui siapa yang mencipta dan mengapa tercipta. Kata Baudrillard, bahwa semua yang nyata kini telah menjadi simulasi.

Simulasi, yang dalam kacamatanya, faktor terbesarnya berada di bawah kejayaan kapitalisme lanjut, dalam artian mode of production kini telah digantikan oleh mode of consumption. (Bertens, 1995: 146).

Konsumsi yang semacam ini yang kemudian menjadikan seluruh aspek kehidupan tak lebih sebagai objek, yakni objek konsumsi yang berupa komoditi. Sebuah pilihan yang tentu memiliki konsekuensi.

Prinsip nilai-guna (use-value) dan nilai-tukar (exchange-value) Marx tertolak. Kemudian, menurutnya, aktivitas konsumsi manusia pada dasarnya merupakan aktivitas non-utilitarian di masa ini.

Di era tanpa batas ini, candu telah berhasil memutus batas-batas. Tak ada barat, timur, atau Indonesia sendiri.

Yang lebih jelas dan menjerat-menjapitis adalah sebuah kenyataan atas "hyper" yang semakin nyata terwujud. Segala hal dianulir tanpa dasar, apalagi alasan.

Yang bahkan, kita bisa berkata, bahwa mati dan hidup itu tak lagi ada beda. Yang berbeda hanyalah bahwa sedang ada pesta yang sebelumnya telah ada. Katanya dan alasannya. [k]

Monday, April 22, 2019

Diam dan Segeralah Pulang ke Pangkuan 'Cinta'



Diamkan deria,
tutup telinga
dan kosongkan fikiran

Dengarkan seruan:

‘Pulang!’

Kata-kata tidak bermakna
Biar senyap seketika
Dengarlah!”

[Mathnawi, Mawlana Rumi]

--

Tak akan terhitung jumlah tafsiran tentang 'Diam' di dalam puisi mawlana ini.

Tak ayal dan tak akan pernah luput pula dapat lepas dari motif oleh para pemaknanya.

'Pulang' pun sama. Makna dari tujuan pulang itu sendiri sama halnya ditafsiri layaknya diam.

Manusia memang bebas tafsir di setiap metafora dan alegori yang didapatinya.

Itulah alasan kenapa saya pernah menulis mengutip salah satu pemikir, bahwa mata adalah organ rapuh.

Membaca mawlana rumi adalah membaca segala hal yang semestinya kembali pada yang disebut dengan cinta.

Tentang cinta, tafsiran apapun, saya tak akan ragu dalam menanggapinya. Dalam cinta, jika dalam prosesnya dibuktikan dengan yang bukan memiliki jiwa dan unsur dari agungnya cinta, maka itu bukanlah cinta.

Sebab cinta adalah pusat dari yang murni.
Cinta tak pernah berbicara, berbohong, dan segala alasan lain. Dan manusia harus tahu mengapa ia ada dan bagian dari yang dicipta. Sehingga disitulah mestinya cinta berperan dam bermanifestasi.

Salam:)

Paranoia


Saya semakin paranoid terhadap kata "kita" akhir-akhir ini.

Saya merasa benar-benar menjadi orang yang paling kesepian meskipun dengung "kita" ada setiap waktu.

"Kita" di sini, sebuah kata yang menjadikan saya berada di dalamnya dan itu yang menjadi alasannya.

Akhir-akhir ini, maksud saya tak lain adalah suasana politik. Dan, pada politik kali ini, saya berani menyimpulkan bahwa kebencian telah disulap menjadi doktrin untuk memenangkan kursi politik itu sendiri.

Saya juga berani menyimpulkan bahwa makna dari politik sendiri telah cukup lama dirubah secara sistemik lewat gerakan birokratik yang tidak mengenal dialektika. Siapa lagi kalau bukan para politisi.

"Kita" di dalam goresan sejarah "politik" Indonesia belakangan, adalah legitimasi oleh kata yang seharusnya adalah "kami" yang melawan "mereka". Kelompok kami versus kelompok mereka.

"Kita" telah lepas dari makna sebuah percakapan, proses, "untuk..", dan yang menjadikan ke arah sikap perjuangan "dari" mengapa kita merdeka 70 tahun lebih lalu.

Dan "kita", di dalam politik, masih bisa lepas pula dari sebuah jerat dan jerat yang dapat begitu beracun seketika, menyebar ke setiap jiwa dan akal bangsa.

Dalam sejarah Indonesia sendiri, pada kisaran tahun 1960-an, di bawah demokrasi terpimpin, jepit dan jerat itu misalnya terbentuk dalam kata "kontra-revolusioner".

Saya mencoba juga untuk belajar di sana.

Kata ini (kita; kontra-revolusioner) bila dikenakan kepada seseorang, satu kelompok, atau satu pola sikap, dapat membuat siapa yang dikenainya seakan-akan tertangkap (terjepit dan terjerat) menjadi sasaran untuk layak diserang.

Kontra-revolusioner dijamannya pun juga bertransformasi, yang awalnya adalah siapa yang acuh untuk mengamini dalam menyerang koloni. Dan di akhir 60-an, bertransformasi menjadi yang sama artinya dengan musuh republik, pengkhianat pertiwi, dan segala usaha yang sedang digerakkan oleh 'Sang Pemimpin Besar Revolusi' yang tak terbantahkan.

Begitu kiranya. Lalu sekarang pun hampir sejalan dalam lanskap perjalannya. "Kita" bahkan seakan lepas dari gerakan. Kita menjadi metafora untuk melawan "dalam penguasaan" saja, dan dalam kontestasi saja.

Secara ideal, memang politik bukan hanya “kami” menghadapi “mereka”, tapi juga (atau justru) “kami” yang berusaha terus menerus membentuk “kita”. Tapi apalah artinya di bumi yang krisis etis ini, di dalam perjalanannya yang katanya 'berkemajuan'.

Saya juga menjadi paranoid di sini karena kata "kita", yang dipakai oleh para punggawa perebut tirani politik menang-kalah, telah membuat pening kepala setiap insan yang selalu terjebak "harapan" kemajuan dan kesejahteraan.

Syahdan, apakah "kita" di perjalanan bangsa ini menjadi kemustahilan?

Barangkali memang segala yang sudah membudaya akan sulit dikoreksi dan diperbaiki. Bisakah jika memang hanya untuk menang dan kalah berani untuk berkata "saya", "kami" yang sedang melawan "meraka"?

Saya enggan membahas etika karena ia pun telah tertikam di setiap ada yang menyebut "Kita".

Thursday, April 18, 2019

Alasan Kenapa Pilpres Kali ini Biasa Aja



Pilpres Indonesia 17 April kemarin sungguh biasa saja. Tak ada yang menarik.

Lagi-lagi pertarungan antara Jokowi dan Prabowo di ring tinju yang sama. Mereka berdua berebut kursi tertinggi negeri atas nama demokrasi.

Kenapa tidak menarik?

Pertama, Politik populis masih dimainkan. Mana wilayah yang jadi kandang mereka, maka akan menang di daerah situ.

Jawa Tengah dan Jawa Timur masih jadi lumbung suara Jokowi. Jawa Barat dan Sumatra masih juga jadi lumbung suara Prabowo. Dan berbagai daerah lain yang petanya hampir sama dengan tahun-tahun sebelumnya.

Politik semacam ini menjauhkan diri dari yang dinamakan kualitas elektoralisme demokrasi yang obyektik, sebab hegemoni tanpa kritik dan kedewasaan berpolitik jauh dari kenyataan.

Hal itulah juga yang menjadi alasan mengapa demokrasi populis berdasar elektoral yang demikian ini, bagi sebagian orang disebut-sebut menuju ke arah infantil disorder alias kekanakan.

Salah satu yang menjadi penyebabnya karena hegemoni dan mitos yang dibangun kepartaian lebih diunggulkan dibandingkan jalannya proses politik demokrasi yang logis serta kritis.

Kedua, Strategi politik siber yang menjadi langkah lanjutan dibandingkan tahun lalu. Kedua kubu sama-sama lebih menggunakan siber sebagai war dibandingkan sebatas kampanye.

Dari sana, lahirlah para buzzpol (buzzer politik) yang tak lagi menggunakan nalar serta etika berpolitik untuk kedewasaan sejarah bangsa. Lahirlah pula hiperealisme akut melalui hoaks dan fake news yang semakin membudaya serta menjauhkan bangsa ini menjadi miskin martabat.

Ketiga, politik dalam bingkai identitas masih menjadi senjata. Hal ini meskipun sudah dilazimkan dan diketahui akan mengancam kedaulatan. Namun bagi dunia pertarungan seperti dihalalkan begitu saja.

Perang komentar Ustadz yang pro sana dan sini yang juga menjadi acuan bangsa dalam politik hingga labeling pro dan anti atas agama tertentu menjadi bukti nyata bahwa politik ini tidak revolusioner.

Bagi sebagian orang, atau bagi para elit ini dianggap sebagai progresifitas karena kaum religius berpartisipasi aktif membangun negara. Tapi apa yang terjadi? Ternyata sebaliknya.

Barangkali progress ke balik diri ke kemunduran nalar sebab sampai kesucian agama sering tercederai dan terpolitisi oleh hal ini.

Keempat, Politik topeng masih tumbuh subur di sketsa perjalanan bangsa ini. Para pebisnis yang meski telah mengkapitalisasi segala hal direpublik ini yang justru menjadi pemimpin-pemimpin yang duduk di kursi pemerintahan.

Terbukti dengan pemilik perusahaan raksasa di republik ini yang mempunyai keuntungan menggunung dimiliki oleh mereka yang ada di kursi senayan. Kenapa hal ini tidak dibenarkan? Karena mengapa bukan BUMN yang menjalankan?

Demikian beberapa alasan kenapa politik dan demokrasi kita biasa aja dan tidak menarik. Tentu masih banyak lagi alasan lain yang memhambat jalannya kemajuan republik ini.

Pemilu sebagai jalan atau cermin politik kita, bagi zaman kini barangkali memang dimaknai sebatas ring tinju untuk mendapat piala semata. Siapa yang memiliki piala, dialah yang akan berkuasa.

Menarik adalah ketika bangsa mampu menjadi kiblat dunia atau internasionalisme terjadi. Ini adalah cita-cita kemerdekaan 1945 lalu.

Mungkin internasionalisme itu masih di mimpi-mimpi suara bangsa yang benar-benar menjiwai menjadi bangsa Indonesia yang sesungguhnya.

Bukan malah sebaliknya. Sesama bangsa hanya berebut menjadi penjajah di republik sendiri. Politik di sini menjadi jalan yang bukan merubah ke arah kemajuannya tapi sebaliknya.

Tentang geger politik yang biasa aja ini dan menonjolkan kuantitas, kekanakan, anti kemapanan, dan demokrasi yang masih berwujud plutokrasi ini adalah pilihan. Toh, bangsa ini juga yang akan menjalani.

Mungkin, di hari-hari yang masih panas sampai menunggu pengumuman siapa yang menang, adalah bukti bahwa pemikiran "Kalau bisa ribut ngapain damai?" masih jadi wajah kualitas nalar berbangsa bangsa ini. Salam.

Tuesday, April 16, 2019

7 Fakta Menarik yang Perlu Kamu Tahu tentang Mimpi



Mimpi bagi sebagian orang sering dimaknai sebagai bunga tidur. Tentang mimpi ini, ada beberapa fakta menarik yang perlu kamu ketahui. Berikut list-nya:

1. Mimpi terkadang bisa meramalkan masa depan. Setiap orang pernah setidaknya 1 kali mengalami mimpi seperti ini (precognitive dream) dan mengalami apa yang disebut déjàvu. “Precognition” ini biasanya mengacu pada persepsi individu yang melibatkan perolehan informasi tentang masa depan.

2. Rata-rata setiap orang memiliki sekitar 1.460 mimpi dalam satu tahun, atau sampai 4 mimpi per malam.

3. Bermimpi tentang terbang sudah ada sejak zaman kuno sebelum manusia menciptakan pesawat terbang.

4. Pria bermimpi tentang pria, lebih sering daripada wanita bermimpi tentang pria. Untuk beberapa alasan, asimetri seksual ini hampir universal terjadi pada anak-anak, remaja dan orang dewasa.

5. Saat mendengkur, Anda tidak bisa bermimpi. Beberapa studi menunjukkan jika seseorang tidur dan mendengkur, dia tidak bisa bermimpi.



6. Bukan hanya pada manusia, hewan juga bermimpi. Studi membuktikan banyak binatang dari jenis berbeda menunjukkan gelombang otak yang sama seperti pada manusia saat tidur. Jika kamu memiliki kucing, lihatlah saat dia tidur. Setiap gerakan kakinya mungkin menunjukkan mereka sedang bermimpi mengejar sesuatu.

7. Kita melupakan setidaknya 90% dari mimpi kita. Dalam waktu 5 menit setelah bangun dari mimpi, setengah mimpi sudah terlupakan. Dan dalam waktu 10 menit, 90% dari mimpi sudah hilang.

Demikian fakta-fakta menarik tentang "Mimpi" yang tidak bisa lepas dari kehidupan kita. [*]

Mengenal Oscar Wilde dan Membaca 18 Quotesnya



Oscar Wilde, Seorang penulis asal Irlandia yang memiliki karya-karya kelas dunia meliputi drama, puisi, cerpen, dongeng, esai, dan novel. Wilde dikenal karena kemampuan mengolah kata serta penggunaan paradoks dalam karyanya sehingga sering dipuji sebagai "Seorang pendongeng yang terampil".

Wilde lahir di Dublin, Irlandia pada tahun 1854. Ibunya, Jane Francesca Elgee, adalah seorang nasionalis Irlandia dan penulis dengan nama pena Speranza. Sedangkan ayahnya, Sir William Wilde, juga seorang penulis dan ahli bedah telinga dan mata.

Wilde memiliki kakak laki-laki, William, dan seorang adik perempuan, Isola, yang mengalami kematian tragis akibat demam pada usia sepuluh tahun dan amat mempengaruhinya.

Wilde adalah seorang pelajar yang cemerlang dan mendapatkan beasiswa ke Trinity College di Dublin untuk kemudian melanjutkan ke Oxford University. Pada tahun 1878, Wilde lulus dengan pujian tertinggi di gelar ganda classical moderations dan literae humaniores.

Wilde menerbitkan buku pertamanya, Poems, pada tahun 1881. Tahun berikutnya, dia memberikan tur ceramah di Amerika Serikat dan Kanada. Wilde telah dikenal sejak di Oxford sebagai pendukung “aestheticism” atau “seni untuk seni,” sebuah gerakan sastra dan seni yang mengutamakan keindahan dan kesenangan di atas segalanya.

Pada tahun 1884, Wilde bertemu dan menikah dengan Constance Lloyd. Mereka memiliki dua anak, Cyril, lahir pada 1885, dan Vyvyan, lahir setahun berikutnya.

Novel satu-satunya Wilde, The Picture of Dorian Gray, muncul pada tahun 1891 setelah diterbitkan secara serial di majalah. Di tahun yang sama, Wilde bertemu Lord Alfred Douglas yang dijuluki Bosie. Douglas memiliki pengaruh besar pada kehidupannya.

Seiring status selebriti Wilde yang terus tumbuh akibat komedi sosialnya seperti Lady Windermere’s Fan dan The Importance of Being Earnest banyak disukai publik, hubungannya dengan Bosie menjadi semakin obsesif dan berbahaya.

Wilde meninggal di Hôtel d’ Alsace, di mana dia menghabiskan hari-hari terakhirnya, pada tanggal 30 November 1900 di usia 46 tahun. Drama, dongeng, dan novel The Picture of Dorian Gray terus populer dan dibaca hingga kini.

Berikut 18 Quote Oscar Wilde yang terkenal:



1. "Setiap orang suci memiliki masa lalu (yang belum tentu baik) dan setiap pendosa memiliki masa depan (yang bisa jadi jauh lebih baik)".

2. "Aku mampu bertahan menghadapi segala bencana, kecuali satu; kehilangan cinta".

3. "Orang tidak sepenuhnya menjadi dirinya ketika ia bicara atas nama dirinya. Berilah ia topeng maka ia akan mengatakan kebenaran".

4. "Semua orang bisa membuat sejarah. Hanya orang hebat yang bisa menuliskannya".

5. "Lelaki selalu menginginkan supaya menjadi kekasih yang pertama dari seorang perempuan, dan perempuan selalu mengharapkan supaya ia menjadi kekasih yang terakhir".

6. "Pengalaman hanyalah nama yang kita berikan pada kesalahan kita".

7. "Pendidikan adalah hal yang mengagumkan, tapi patut diingat bahwa dari waktu ke waktu tak ada sesuatu yang layak diketahui yang bisa diajarkan".

8. "Rahasia untuk tetap muda adalah tidak pernah memiliki emosi yang tidak pantas".

9. "Tidak ada dosa selain kebodohan".

10. "Yang paling tinggi sebagai bentuk kritik terendah adalah modus autobiografi".

11. "Kebanyakan orang adalah orang lain. Pikiran mereka adalah opini orang lain, kehidupan mereka mimikri, gairah mereka sebuah kutipan".

12. "Kebenaran berhenti menjadi benar ketika lebih dari satu orang percaya akan hal itu".

13. "Mereka berjanji bahwa mimpi bisa menjadi kenyataan - tetapi lupa untuk menyebutkan bahwa mimpi buruk itu mimpi juga".

14. "Ambisi adalah perlindungan terakhir dari kegagalan".

15. "Fashion adalah bentuk keburukan yang tak tertahankan sehingga kita harus mengubahnya setiap enam bulan".

16. "Hanya ada dua jenis orang yang benar-benar mempesona: orang-orang yang benar-benar mengetahui segalanya, dan orang-orang yang tidak tahu apa-apa".

17. "Hati dibuat untuk patah hati".

18. "Kebaikan berakhir dengan bahagia, dan yang buruk tidak menyenangkan. Itulah arti Fiksi".

[]